Wednesday 16 May 2012




A.    Latar Belakang
Ilmu merupakan pengetahuan yang  di dapatkan lewat metode ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana berfikir, yang memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat.  Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ilmu pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di alam semesta, dan sampai hari ini telah banyak penemuan dalam berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang ilmu-ilmu sosial, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi dan lain sebagainya. Penemuan dan lahirnya displin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia.
Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dari pemikiran dan ilmu pengetahuan tersebut. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan teori lainnya sehingga menjadikan pengetahuan yang lebih utuh. Pemikiran-pemikiran epitemologis telah membentuk tata cara berpikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemologi menjadi titik tolak maju mundurnya laju ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20, pengaruh positivisme dan neo-positivisme telah mempengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology). Sehingga menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan mengabaikan tingkatan-tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio manusia (metafisika, bahkan agama).
Cara pandang manusia diarahkan kepada manfaat praktis dan sesaat saja, budaya konsumsi menjadikan manusia hanya mengutamakan diri sendiri. Menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang hanya memiliki hak untuk hidup. Ringkasnya semua makhluk hanya diperuntukkan bagi kelansungan hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dari makhluk lainnya. Lihat saja misalnya dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, bagaimana eksploitasi terhadap alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu sendiri. Lihat juga dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, bagaiman prinsip-prinsip hidup bersama hanya untuk menaikkan satu golongan dan mendeskreditkan golongan lainnya. Pada dasarnya ini berawal dari persoalan epistemology yang mendasar wujud bangun dan rancang dari ilmu pengetahuan.    
Akan tetapi, kemudian muncul seorang Filosof, Karl Raimund Popper yang mengajukan kritik terhadap arus neo-positivisme yang bercorak verifikatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemology yang dikenal dengan Falsifikasi.

B.    Rumusan Masalah
1.    Siapakah Karl R. Popper?
2.    Bagaimanakah kritiknya terhadap induksi dan verifikasi?
3.    Apakah falsivikasi itu?
4.    Bagaimanakah tawaran yang diberikan oleh Popper tentang demarkasi antara ilmu sejati dan ilmu semu?


PEMBAHASAN


A.    Biografi Karl R. Popper
Popper memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper. Seorang filosof sains keturunan Inggris-Austria. Ia dilahirkan di Wina pada Juli 1902 dan kemudian meninggal pada Agustus 1994. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara, kedua kakaknya adalah perempuan. Bapaknya Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang doktor hukum dari University of Vienna, yang beragama yahudi. Ibunya Jenny Schiff adalah seorang ahli musik.
Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar belakang keilmuan yang cukup variatif dan terkesan menjadi seorang yang anti terhadap kemapanan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu; Pertama, pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena pelajaran-pelajaran yang disajikan sangat membosankan. Kedua, menjadi pendengar bebas pada universitas Wina dan empat tahun kemudian ia diterima sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Ketiga, Popper memilih mata kuliah matematika dan fisika teoritis. Dalam pandangannya dengan matematika ia akan dapat mengetahui standar-standar kebenaran .
Ketika menjadi mahasiswa, Popper bukan saja mempelajari paham-paham sosialisme, tetapi juga komunisme, bahkan pernah mengidentikkan dirinya sebagai pengikut paham komunis. Tepatnya di saat ia berusia 17 tahun. Sebagaimana dijelaskan oleh Popper dalam autobiografinya, pada awalnya ia sangat tertarik pada Marxisme. Namun, kemudian ia menyadari betapa bahayanya paham tersebut bahkan dipandang sangat tidak bertanggung jawab terhadap kebaikan massa . Hal ini menyebabkan ia kecewa dan menjadi seorang yang anti komunis dan marxisme. Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh ucapan Socrates “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Inspirasi inilah yang kemudian membangkitkan obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang kritis. Dengan semangat keilmuannya itu, maka Popper bukan saja berhasil memiliki ijazah untuk mengajar matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula memperoleh gelar “doctor filsafat” (Ph.D) pada tahun 1928 dengan disertasi tentang Zur Methodenfrage der Denpsychologie (Masalah metodologi dalam psikologi pemikiran) .
Setelah masa itu, perkenalannya Popper dengan Albert Einstein dan Karl Buhler mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori kritis. Tema-tema sentral yang menjadi bahan diskusi diantaranya masalah indeterminisme, problem-problem operasionalisme, positivisme dengan induksi dan verifikasinya. Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan teori-teori kritisnya baik mengenai deduksi dengan objektifismenya, maupun demarkasi dengan falsifikasinya. Upayanya itu bukan saja dikumandangkan di Wina, tetapi juga di Inggris antara tahun 1935-1936, kemudian di Selandia Baru (tahun 1936-1945), dan di Amerika, yaitu mulai tahun 1950 ketika Popper memberikan serangkaian kuliah di Harvard.
Meskipun berada di Wina akan tetapi Popper tidak tergolong bagian dari anggota mazhab Filsafat Wina atau dikenal juga dengan Lingkaran Wina (Vienna Circle) . Bukan saja ia terlepas dari keanggotaan dari gerakan tersebut, ia bahkan tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang mereka adakan. Meski pun ia banyak kenal dan sering melakukan kontak dengan aktifis mereka, seperti Viktor Kraft dan Herbert. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam terhadap kelompok lingkaran Wina, dimana kritikan yang ia kemukan akan kita lihat selanjutnya. 
Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia. Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain : Logic der Forschung (logika penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam Bahasa Inggris pada tahun 1972 dengan judul The Logic of Scientific Discovery. Ketika di Selandia Baru Popper menulis The Poverty of Historicism diterbitkan pada tahun 1957, dan The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1966. Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures and Refutation; The Growth of Scientific Knowledge (1972). Buku ini berisi tentang problematika pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang menyertainya. Kemudian buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu Objective Knowledge; An Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam buku ini dijabarkan pula teorinya tentang “Dunia 3”, dunia ojektif, yaitu dunia yang secara historis merupakan asal ilmu pengetahuan.

B.    Induksi dan Verifikasi
Sebelum masuk kepada memahami teori falsifikasi yang dikembangkan oleh Karl Popper, hendaknya terlebih dahulu paham mengenai induksi dan verifikasi. Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh Popper merupakan bantahan dan sanggahan dari induksi dan verifikasi yang banyak dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya. Sebut saja Francis Bacon (1561-1626), yang disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandalkan metode induksi dalam menerima kebenaran sebuah teori, kemudian metode ini dikemas ulang oleh Jhon Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan dianggap benar dengan cara penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam.
Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuan dan hampir tidak pernah diperdebatkan. Metode ini menjadi karakter dalam ilmu-ilmu pengetahuan dengan melakukan generalisasi dari hal-hal yang partikular, atau dikatakan juga metode induksi berangkat dari beberapa kasus partikular kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan pengamatan terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan melakukan induksi dapat dibuat teori yang lebih umum bahwa semua angsa berwarna putih. Metode induksi ini terus mengalami perkuatan oleh para filsuf diantaranya Jhon. S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif sebagai metode ilmiah yang valid .
Karl Popper mengkritik dan mempertanyakan metode induksi yang sudah mapan bahkan ia menolak metode induksi dan menganggapnya sebagai metode yang tidak sah secara logis. Popper kemudian memperkenalkan metode falsifikasi sebagai berikut:
P1 -------- >    TS    -------- >     EE     --------- >    P2
P1    : Problem yang ingin dipecahkan
TS    : Tentative Solution
EE    : Error Elimination
P2     : Problem baru yang timbul setelah dilakukan falsifikasi kritis.
Selanjutnya Popper juga dihadapkan oleh metode verifikasi, baik yang dikembangkan oleh Filsuf dalam lingkaran Wina maupun di luar Wina sendiri. Verifikasi telah memproklamirkan diri sebagai satu-satunya metode untuk menguji ilmiah atau tidaknya sebuah teori. Atau dikatakan juga apakah sesuatu itu meaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti). Juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science) atau ilmu semu (pseudo science). Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti ia tidak bermakna.
Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip tersebut maka filsafat tradisional, seperti pembahasan mengenai 'ada yang absolute', haruslah ditolak. Karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teologi maupun metafisika.
Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah mengantarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini. Ilmu pengetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan dengan metode verifikasi memudahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi terhadap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu dengan verifikasinya telah menjadi komponen terpenting dalam menjaga kehidupan manusia di alam. Ilmu yang telah melalui verifikasi dipandang sebagai kebenaran yang absolute, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai pernyataan-pernyataan semu yang menipu.

C.    Falsifikasi
Baik secara morfologis maupun semantik, perlu diuraikan bagaimana kata falsifikasi. Falsifikasi secara otomatis terkandung pada falsibilitas. Kata falsify itu sendiri adalah kata kerja jadian yang terbentuk dari kata sifat false yang berarti salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan 'menjadi'. Adapun falsification adalah bentuk kata benda dari kata kerja falsify. Dengan demikian jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi kata kerja dengan menambahkan akhiran ify sehingga menjadi falsify dan dibendakan dengan menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi falsification yang diIndonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti 'hal pembuktian salah'.
Falsifikasi adalah suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya sesuai dengan hasil observasi atau percobaan. Dengan kata lain menurut pandangan falsifikasionisme, ilmu dipandang sebagai satu set hipotesa yang bersifat tentatif untuk menggambarkan atau menghitung tingkah laku suatu aspek dunia atau universe. Jadi bagi mereka tidak ada suatu ilmu yang dibuat manusia bisa seratus persen sama apabila dikonfrontasi dengan hasil pengamatan dari kenyataan yang ada.
 Sebelum lebih jauh, maka akan diperlihatkan bagaimana Popper menjawab persoalan demarkasi dan mengangkat falsifikasi dalam ranah filsafat ilmu. Dalam hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh pengetahuan dan selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau bagian dari true sciences atau bagian dari pseudo scinces.
Menurut Popper, manusia dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman emprisis bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Perbedaan proses berpikir antara penganut induktivisme dengan penganut falsifikasionisme adalah:
    Ilmu menurut paham induktifisme dimulai dari pengamatan dan pengalaman > secara induktif ditarik suatu kesimpulan yang dianggap sebagai teori > berdasarkan teori tersebut dilakukan logika deduktif untuk menjelaskan (eksplanasi) dan kemudian membuat ramalan (prediksi) diuji kembali melalui pengamatan > diperoleh kesimpulan baru sebagai teori baru > dan seterusnya.
    Ilmu menurut paham falsifikasi dimulai dari masalah yang terdapat dalam dunia nyata > mengemukakan hipotesis berdasarkan eksplanasi yang telah ditarik secara deduktif > memecahkan masalah berdasarkan hipotesis > diperoleh kesimpulan sebagai teori > ada kesmpulan yang bisa memecahkan masalah dan ada kesimpulan yang tidak bisa memecahkan masalah (sebagai ketidakcocokan/falsely > yang tidak dapat memecahkan dianggap masalah yang perlu dipecahkan dengan hipotesis baru > dan seterusnya.
Dari uraian di atas dapat digambarkan penjelasannya sebagai berikut:
Induktivisme    Falsifikasionisme
Ilmu dimulai dari pengamatan    Ilmu dimulai dari masalah yang memerlukan pemecahan
Ilmu berkembang karena teori yang ditarik melalui induksi    Ilmu berkembang karena terjadinya ketidakcocokan antara hipotesis dengan masalah yang dihadapi sehingga menimbulkan masalah baru yang memerlukan hipotesis baru
Significance of the theory hanya ditentukan oleh hubungan antara pernyataan hasil observasi yang telah dikonfirmasi dengan teori yang didukungnya    The significance of the theory sangat bergantung pada historical context terbentuknya teori tersebut
Berdasarkan paham falsifikasi, ketidakcocokan bisa terjadi baik karena keadaan yang melekat pada manusia yang memberikan observasi maupun karena keadaan lingkungan dan waktu dari obyek yang diobservasi. Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dari insight individual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian pengetahauan dalam tataran teologis, metafisis bahkan mistis sekalipun dapat dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) yang bermakna (meaningful).
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana untuk membuktikan pengetahuan tersebut, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan hanya merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan criteria ilmiah tidaknya pengetahuan adalah kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji dalam lingkup; basa diuji (testability), bisa disalahkan (falsibility) dan bisa disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi kompenen untuk disangakal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan. 
Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi mencari pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori tersebut. Maka rangkaian tes berisi komponen-komponen penolakan terhadap teori tersebut, maka Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan ia akan selamanya hanya berupa hipotesa (dugaan sementara) yang akan terus menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk tercapai kebenaran sejati.
Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya khususnya dalam bidang ilmu alam, dimana pada masanya kemapanan fisika Newton akhirnya dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan demikian ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan secara sadar diakui bahwa hal ini berawal dari pengetahuan terdalam manusia yang menjelma menjadi suatu hipotesa, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang masa sehingga memunculkan hipotesa baru yang nantinya juga terbuka untuk terus dikritisi.
Pandangan ini menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif untuk mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin sebuah teori dapat bertahan dari penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kokoh dalam keilmuan, ini juga disebut Popper sebagai teori pengokohan (theory of corroboration) . Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper sehingga dipandang sebagai Filsuf, Empirisis modern sekaligus Epitemolog Rasionalisme-Kritis.

D.    Demarkasi antara Ilmu Sejati (True Science) dan Ilmu Semu (Pseudo Scince)
Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode-metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Di satu pihak ia bereaksi terhadap metode induksi yang 'mempatenkan' dirinya sebagai metode ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar oleh para filsuf di lingkaran Wina.
Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat fokus bahasan dalam membedakan/memisahkan antara pernyataan yang mengandung makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta .
Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan.  Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa ungkapan yang tidak bersifat ilmiah – tidak dapat dibukitkan dengan observasi dan eksprimen – memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak munculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam maupun sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan eksprimen terhadapnya.
Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight individual bukan berasal dari pengamatan partikular (observasi) yang kemudian berujung kepada proses generalisasi – induksi. Sebagai contoh, kemampuan manusia untuk membangun peradaban dan teknologi banyak lahir dari kemampuan atau ilham yang tidak diperoleh dengan metode induksi, akan tetapi muncul dalam tataran umum terlebih dahulu kemudian menjelma secara lebih nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebih menyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan metode dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dengan diketengahkannya metode deduksi maka membuka kembali makna ilmiah terhadap kajian-kajian yang selama ini disingkirkan oleh metode induksi-verifikasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadirkan kembali dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta merta seorang peneliti menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah atau pun ilmiah hanya dengan berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan sejatinya segala sesuatu memiliki arti karena ia dapat dipahami.
Lebih mendasar, Popper mengungkapkan kelemahan dalam metode induksi dan verifikasi, antara lain:
1.    Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena, seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna.
2.    Berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites.
3.    Untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus bisa dimengerti. Sehingga bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori? 
Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiah. Verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dari satu teori sehingga mengkaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandungnya, sebagai contoh tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu teori dengan mengedepankan contoh-contoh yang mendukung kebenaran teori tersebut (proses ini berlangsung dengan metode induksi-generalisasi terhadap particular yang ada). Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dari sebuah teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.
Sikap seperti ini merupakan karakter dari verifikasi-induktif, di satu sisi yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi sederhana, seorang peneliti menyampaikan hasil penelitiannya bahwa seluruh angsa berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.
Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori.


PENUTUP


Kesimpulan
Karl Raimund Popper merupakan seorang filosof sains keturunan Inggris-Austria. Dilahirkan pada Juli 1902. Merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Simon Sigmund Carl Popper dan Jenny Schiff.
Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, pemikiran Popper dikelompokkan menjadi tiga tema, yakni persoalan induksi dan verifikasi, persoalan demarkasi dan persoalan dunia ke tiga. Popper memang tidak sependapat dengan keyakinan tradisional tentang induksi, yang menganggap bahwa teori apa saja akan dinilai benar bila cara penarikan kesimpulannya didasarkan pada metode induksi. Metode induksi berarti juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam. Padahal dalam kenyataannya tidak ada contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Popper juga mengkritik pandangan noe-positivisme (Vienna Circle) yang memberlakukan hukum umum sebagai teori ilmiah dengan metode verifikasinya. Seperti yang diketahui, mereka memperkenalkannya dengan sebutan apakah sesuatu itu meaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti). Juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science) atau ilmu semu (pseudo science). Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti ia tidak bermakna. Bagi dia, falsivikasi atau juga disebut falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat antara ilmu (true science) dengan yang bukan ilmu (pseudo scince).
.


Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996.
Berkson, Wiliam & Jhon Wettersten, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.
Bondowoso, Ulum. “Karl Popper”. http://ulumbondowoso.blogspot.com.
Kalkoy, Paul. "Karl R. Popper dan Falsifikasi". http://leonardoansis.wordpress. com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/ karl-r-popper-dan-falsifikasi.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2004.
O'Hear, Anthony (ed.). Karl Popper: Philosophy and Problems. Cambridge: Press Syndicate of The University of Cambridge, 1995.
Priyanto. “Falsificationism Karl Popper”. http://insancita.4t.com.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007.

silakan KLIK di sini untuk mendapatkan materi lainnya...

Saturday 5 May 2012





 A.    Latar Belakang

Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang  mustahil bila suatu realitas   dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang dating setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.  Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara mendalam.


B.    Rumusan Masalah

1.    Bagaimana sejarah vienna circle atau verifikasi?
2.    Apa yang dimaksud dengan verifikasi?
3.    Bagaimana pendapatvienna circle tentang filsafat?


C.     Tujuan

1.     Mengetahui sejarah vienna circle atau verifikasi
2.     Memahami definisi verifikasi
3.    Memaparkan pendapat vienna circle tentang filsafat

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Vienna Circle atau Verifikasi

Secara umum bisa dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filosof sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif.
Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stewart Mill (1803-1873)—filosof logika berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer). 
Periode kedua dari perkembangan positivisme banyak diwarnai oleh pemikiran dan pendapat filosof Ernst March (1838-1916), yang dikenal sebagai tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan Machisme. Selain March dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.
Pada tahun 1920-an, positivisme mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan hadirnya kaum positivis logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (vienna circle). Lingkaran Wina (vienna circle) adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Setiap minggu mereka berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924, meski sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak 1922, dan berjalan terus hingga 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hanh (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Victor Kraft (1880-1975), Harbert Feigl (1902) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Diantara para anggota Lingkaran Wina filsuf yang menarik perhatian adalah Rudolf Carnap. Pengaruhnya atas filsafat dewasa ini dapat disetarakan dengan Russel dan Wittgenstein. Ia seorang pemikir yang sistematis dan orisinil.
Pandangan yang dikembangkan oleh kelompok ini disebut neopositivisme, atau sering juga dinamakan positivisme logis. Sebagai penganut positivisme, secara umum mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman, namun secara khusus dan eksplisit pendirian mereka sebagai berikut:
a.    Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
b.    Menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diverifikasi secara empiris, seperti estetika, etika, agama, metafisika, sebagai nonsense.
c.    Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal (Unified Science)
d.    Memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.


B.    Definisi Verifikasi

Verifikasi (Inggris: verification) adalah teori filsafat positifis logis dalam memilih yang menyatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisa logis dapat dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk memecahkan masalah melalui metode verifikasi empirik yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka hasilnya adalah sia-sia. penganut teori radikal ini memiliki masalah konsekuensi untuk filosofi tradisional, karena, jika benar, akan menyebabkan banyak pekerjaan sia-sia pada filosofis masa lalu, antara lain pada metafisika dan etika.
Verifikasi berasal dari bahasa Inggris, yakni ‘Verification’, yang artinya pemeriksaan tentang suatu kebenaran atas laporan, pernyataan, dan lain-lain. Verifikasi merupakan salah satu cara pengujian hipotesis yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsip-prinsip, generalisasi, dan hukum-hukum. Verifikasi adalah pandangan yang dikembangkan oleh Neo-Positivisme atau yang di kenal Positivisme Logis. Pandangan ini dipengaruhi oleh Auguste Comte  (1798-1857) tentang pengetahuan yang berlandaskan pada pendekatan logis dan pasti (positif). 
Menurut Moritz Sclick, Verifikasi merupakan pengamatan empiris secara langsung, artinya pernyataan yang di ambil langsung dari objek yng di amati itulah yang benar-benar mengandung makna. Oleh karenanya, pengetahuan di mulai dari suatu pengamatan peristiwa. Dalam hal ini Alfred Jules Ayer menegaskan bahwa Verifikasi merupakan suatu cara untuk merumuskan suatu proposisi (pernyataan) jika pernyataan yang diungkapkan itu dapat di analisis atau dapat di verifikasi secara empiris.
Pada dasarnya Verifikasi di gunakan untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Artinya, jika suatu pernyataan dapat di verifikasi, maka pernyataan tersebut adalah bermakna (ilmiah), sebaliknya jika suatu pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka pernyataan tersebut tidak bermakna (non ilmiah). Dalam hal ini, prinsip dasar verifikasi ialah terletak pada proposisinya (suatu pernyataan). Suatu proposisi dinyatakan bermakna jika dapat diuji dengan pengalaman (empiris) dan dapat diverifikasi dengan pengamatan(observasi).
Pandangan Verifikasi menolak atas metafisika. Karena metafisika di anggap tidak bermakna sebab metafisika mengandung proposisi yang tidak dapat di verifikasi. Menurut Rudolf Carnap, metafisika merupakan proposisi yang “Pseudo-Statements”, yakni suatu proposisi (pernyataan) yang melanggar aturan-aturan sintaksis logika dari pembuktian empiris. Oleh karenanya, pernyataan metafisis harus ditolak, karena metafisis bertentangan dengan kriteria empiris.
Carnap selanjutnya membedakan antara verifikasi langsung dan tidak langsung. Apabila suatu pernyataan yang menunjukkan sebuah persepsi sekarang, seperti “sekarang saya melihat lapangan merah dengan dasar biru”, maka saya pernyataan ini dapat diuji secara langsung dengan persepsi kita sekarang. Pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara langsung dengan penglihatan. Artinya, jika tidak dilihatnya, maka ia terbantah. Sementara terhadap verifikasi tidak langsung Carnap memberikan jalan lewat deduksi dari pernyataan perseptual. Suatu pernyataan yang mengandung makna teoritis, tidak mungkin diverifikasi dengan menghadirkan image sesuatu, tetapi dengan kemungkinan pendekdusian dari pernyataan perseptual tersebut, karena kemungkinan verifikasi.  
Dengan kata lain yang dimaksud dengan verifikasi adalah teori filsafat logis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari pengalaman yang kemudian  diuji dengan metode verifikasi yang dibuktikan kebenarannya secara empiris. Apabila pernyataan tersebut dapat diverifikasi maka pernyataan tersebut bermakna (ilmiah), dan apabila pernyataan itu tidak dapat diverifikasi maka pernyataan itu tidak bermakna (non ilmiah) seperti estetika, etika, agama, metafisika. Tujuannya untuk menemukan teori-teori, generalisasi dan hukum.
Contoh verifikasi adalah memverifikasi bahwa langit berwarna biru, Anda hanya melihat langit. Oleh karena itu, menurut positivis logis, Anda tahu apa yang saya maksud ketika saya berpendapat bahwa langit berwarna biru. Demikian pula, Anda tahu bagaimana untuk memverifikasi bahwa kursi yang saya duduki adalah biru. Yang Anda harus lakukan adalah datang ke ruangan tempat saya duduk dan melihat kursiku. Hal ini, menurut positivis logis, merupakan kriteria yang perlu dipenuhi agar kalimat menjadi bermakna jika itu adalah pernyataan fakta tentang dunia.


C.    Pendapat Lingkaran Wina Tentang Filsafat

Filsafat menurut pendapat Lingkaran Wina, tidak mempunyai suatu wilayah penelitian tersendiri. Realitas empiris dengan segala aspeknya dipelajari oleh ilmu pengetahuan khusus, sementara suatu realitas yang non-empiris dan transenden dan transenden tidak mungkin menjadi pengetahuan. Objek filsafat tradisional seperti ‘Ada yang absolut’ tidak dapat menjadi wilayah yang digarap oleh pengetahuan kita, karenanya pernyataan-pernyataan yang menyangkut objek-obje yang demikian itu merupakan pernyataan semu. Problem-problem kefilsafatan juga hanya semu belaka, karena tidak didasarkan pada penggunaan bahasa yang bermakna (meaningfull), tetapi menggunakan bahasa yang penuh emosi dan perasaan (emotional use of language).
Berdasarkan pemahaman di atas, tugas tunggal yang tertinggal bagi filsafat ialah memeriksa susunan logis bahasa ilmiah , baik dalam rumusan penyelidikan ilmu alam, maupun dalam logika dan matematika. Dengan demikian, filsafat ilmu adalah logika ilmu. Filsafat ilmu  harus disusun berdasarkan analogi logika formal. Sebagaimana logika formal selalu menyibukkan diri dengan problem ‘bentuk’ (forma), dan bukannya dengan ‘isi’ proposisi dan argumen, demikian pula logika ilmu lebih mengurusi bentuk-bentuk logis pernyataan ilmiah.
Dengan kata lain menurut pendapat Lingkaran Wina tentang filsafat adalah filsafat tidak mempunyai wilayah penelitian sendiri. Dalam kajian filsafat biasanya yang dibahas adalah pernyataan-pernyataan yang semu dan masalah-masal dalam filsafat juga hanya semu belaka. Sehingga dalam pengunggkapan bahasa menggunakan bahasa yang penuh emosi, bukan menggunakan bahasa yang mermakna (meaningfull).

PENUTUP

Kesimpulan
Sejarah lahirnya Lingkaran Wina dimulai pada tahun 1920-an, yang mana positivisme mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan hadirnya kaum positivis logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (vienna circle). Lingkaran Wina (vienna circle) adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Setiap minggu mereka berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924, meski sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak 1922, dan berjalan terus hingga 1938.
Verifikasi adalah teori filsafat positifis logis dalam memilih yang menyatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisa logis dapat dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk memecahkan masalah melalui metode verifikasi empirik yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka hasilnya adalah sia-sia. penganut teori radikal ini memiliki masalah konsekuensi untuk filosofi tradisional, karena, jika benar, akan menyebabkan banyak pekerjaan sia-sia pada filosofis masa lalu, antara lain pada metafisika dan etika.
Filsafat menurut pendapat Lingkaran Wina, tidak mempunyai suatu wilayah penelitian tersendiri. Realitas empiris dengan segala aspeknya dipelajari oleh ilmu pengetahuan khusus, sementara suatu realitas yang non-empiris dan transenden dan transenden tidak mungkin menjadi pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Anis. Dogmatis, Spekulatif, Verifikatif, dan Falsifikatif, http:\tugas\verifikasi\dogmatis, spekulatif, verifikatif, dan falsifikatif _ anis_hidayati.htm. diakses tgl 9 Oktober pkl 07.10 WIB

http\Download\Asas Verifikasi dan Tugas Filsafat<< selembar kertasku.htm. di akses tanggal 19 Oktober 2011 pkl 09.00 WIB

http://z15.invisionfree.com/Paradisia/ar/t2649.htm. diakses tgl 05 Desember  pkl 09.10WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/verifikasi, diakses pada tgl 9 Oktober 2011 pkl 07.00WIB

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu Kajian Atas Dasar Paradigma dan KerangkaTeori dan Ilmu  Pengetahuan. Yogyakarta:Belukar Gowok, Komplek Polri. 2006

Muslih, Mohammad. Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, Jurnal Tsaqofah Vol 3, nmr 02. 1428H


silakan KLIK di sini untuk mendapatkan materi yang lainnya... (tunggu 5 detik kemudian klik Lewati/Skip)





A.    Latar Belakang

Positifisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia yaitu tahap teologis tahap metafisik dan tahap positifistik. Pada tahap teologik pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama,kemudian pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai filsafat serta pada tahap positifisme,manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan tehnologi . Filsafat positifisme comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolak ukur”kebenaran”.
Melihat sekilas pemikiran Karl Popper  yang muncul setelah positivisme, mengenai sumber diperolehnya kebenaran adalah tangkapan manusia terhadap obyek melalui akal dan pengalamannya.walaupun bersifat tentatif “kebenaran”itu harus tetap melewati pengujian ketat dan gawat(crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” sehingga “kebenaran” dapat dibuktikan secara konsisten.  Seperti dialektika Hegel menyatakan bahwa “kebenaran”akan selalu mengalami proses tesis,sintesis, dan antitesis selamanya.  Begitu pentingnya sebuah kebenaran bagi manusia yang menuntutnya untuk selalu berusaha mencari hakekatnya, sehingga tanpa sadar bahwa “kebenaran” telah menjadi permasalahan pokok manusia.
Comte,bukan tokoh pencetus positivism melainkan dalam menyampaikan idenya tentang positivism banyak mendapat sambutan hangat kala itu, sehingga namanya besar dan dikenal dengan sebutan bapak positivism. Lebih lagi ketika beliau mampu menyelesaikan analisisnya tentang phisika social,dengan menggunakan metodologi alamiah menjadikan namanya dikenang masyarakat sebagai bapak sosiologi. Namun pemikiran yang dikembangkan comte tidak selamanya mendapat pujian akan tetapi juga hujatan,sebagaimana yang disampaikan oleh weber bahwa kajian manusia tidak  dapat disamakan dengan metodologi matematika,karena social sebagai lahan kajian manusia dan budayanya mempunyai etika dan estetika  tersendiri.Demikian halnya,makalah ini juga menyajikan pencarian kebenaran dalam sudut pandang Auguste Comte, yang disebut dengan filsatat positifisme. Suatu ide yang muncul abad XIX, dengan menitik beratkan pada aspek metodologis sebagai cara pencarian kebenaran.


B.    Rumusan Masalah

1.    Siapakah Auguste Comte?
2.    Bagaimana pemikiran epistemologis,metodologi dan aksiologi Comte?


C.    Biografi

Auguste Comte mempunyai nama panjang Isidore Marie Aguste  Francois Xavier Comte. Lahir di Montpellier- Prancis, 17 Januari 1789. Dan meninggal di Paris 5 September 1857 tepat pada umur 59 tahun dan dimakamkan di Cimetiere Pere Lanchaise.  Sebelum meninggal dunia, Comte banyak menghasilkan karya diantaranya epistemologi positifisme dalam kursusnya dibidang filsafat  positif. Kemudian teks-teks tersebut diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842 serta pada tahun 1865, dari kumpulan teks kursus tersebut diterbitkan  dalam bahasa inggris yang difokuskan pada ilmu fisik di antaranya adalah metafisika, astronomi, fisika, kimia dan biologi serta yang terakhir ilmu sosial.
Secara intelektual, Aguste Comte merupakan tokoh yang memiliki karir cermerlang dalam analisis epistemologi pada masanya. Kontruksi  pemikiran Comte tidak terlepas dari social intelektual yang mempengaruhi diantaranya  keluarga, lingkungan sosial dan budaya, serta guru dan teman yang menjadi tempat diskusi pribadinya. Comte hidup dilingkungan sosial dan budaya pada masa pasca revolusi perancis. Dampak revolusi ini, banyak perubahan yang dialami masyarakat termasuk perubahan individualis pada masyarakat borjuis dan pada masyarakat proletar justru mengalami ketertindasan, tuntutan hak yang diinginkan pada revolusi,  hanya dinikmati pada orang-orang tertentu tidak untuk semua kalangan masyarakat perancis. Kondisi yang demikian itu, menjadi bahan diskusi  Comte bersama temannya yaitu Henri de saint-simon dan Pierre-simon Laplace, sehingga melekat dalam pemikiran Comte.



D.    EPISTEMOLOGI POSITIVISME COMTE

Comte pernah belajar sejarah pemikiran klasik,ini merupakan start dimana comte  mulai berfilsafat,sehingga dapat menghasilkan ide bahwa perkembangan pemikiran manusia itu terjadi dalam 3 tahap atau disebut dengan trilogy . Diantaranya adalah tahap teologi atau tahap pencarian eksistensi yang memerintah manusia tertinggi pada masa pra-pencerahan.. Dalam tahap ini jelas comte mendasarkan epistemologinya pada cara berfikir manusia purba ketika zaman pleistosen . Masa ini merupakan tingkat awal manusia mencari Tuhannya, sehingga berusaha menyembah segala sesuatu yang dianggap suci dan menjadi pelindung manusia dari marabahaya yang dihadapi manusia pada masa primitif hingga masa perkembangan paganisme.
Tahap paganisme seperti yang dijelaskan dalam sejarah panggung dunia,bahwa pemikiran manusia fokus pada kekuatan roh penguasa alam gaib. Dewa  dewi dalam  era paganisme terbagi menjadi 2 yaitu kepercayaan hindu dan kepercayaan budha .perspektif dewa ini merupakan bentuk empirisme yang coba digambarkan layaknya manusia yang punya kehendak dan rasio. sehingga  kepercayaan terhadap roh dapat dijadikan pengalaman indera.diantara contoh dewa-dewa adalah;dewa RE atau RA,dewa siwa,dewi fortuna,dewi sri  dan sebagainya.
Setelah menjalankan tahap pagan,ternyata comte juga membahas  pemikirannya tentang keesaan tuhan atau monotheisme. Walaupun comte tidak menjelaskan Tuhan dalam emanasinya. Tuhan pada agama kristianipun juga mendapat pandangan sama,yang coba dimaterialkan sehingga ruh kudus bisa memberikan berita gembira lewat anak allah(Yesus) sebagai gembala domba(Umat),Ini merupakan bentuk pengembangan pemikiran Comte tentang agama. Pemikiran comte selanjutnya adalah metafisik atau tahap pencerahan. 
Tahap ini comte,tidak seperti para teman seperti Henri de Saint Simon yang berpikir tapi tidak ada realitasnya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat perancis. Beliau membuat analisis data sesuai yang dia lihat pada masa pencerahan,setelah revolusi perancis dimana manusia saat itu mengalami kegelisahan,dalam pergolakan antara demokrasi dan kediktatoran. Sehingga dia memfokuskan idenya tentang pengakuan hak-hak universal manusia.  Hak setiap individu dari seluruh manusia merupakan hal yang terpenting dan tidak bisa diatur oleh satu orang. Seperti yang terjadi sebelum revolusi perancis,negara di bawah kekuasaan Paus yang berdasarkan atas doktrin gereja. Pada tahap ini sebenarnya masa transisi dari teologi ke tahap metafisik,dimana manusia dengan hak yang diperolehnya dapat berfikir secara bebas bahkan mencoba mencari Tuhanya dalam bentuk yang lebih dapat memuaskan keyakinananya.
Ide yang dirancang oleh comte dalam tahap ke dua ini coba diaplikasikan dalam tahap ketiga atau tahap positifisme. Disini,tidak ada ukuran yang jelas sebagai bentuk kepuasan pemikiran yang diterapkan,akan tetapi comte menjelaskan bahwa setiap ide harus selesai dengan sebuah kemajuan.dan untuk mencapai kemajuan Comte berpendapat bahwa; “supaya ada masyarakat baru yang teratur, haruslah lebih dulu diperbaiki jiwa atau budi" 


E.    METODOLOGI POSITIVISME COMTE

Berawal dari pemahaman ilmu fisik kemudian Comte mengembangkan idenya pada ilmu sosial, dengan menawarkan account perubahan sosial (revolusi sosial). account ini menuntut Comte melakukan pengamatan terhadap koherensi dari teori observasi dan mengklasifikasikan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Comte beranggapan bahwa,“The physical had necessarily to arrive fist before humanity coul adequately channel its efforts into the most challenging and complex “ Queen science” of  human society it self”.
Sehingga dari account tersebut Comte menghasilkan Empiris sebagai metode yang dibutuhkan dalam mengkaji sosiologi: Filsafat positifisme Comte juga bias difahami dengan istilah Empirisme –Kritis , bahwa pengamatan dan teori berjalan seiring. pengamatan atau obyek positif harus ditafsirkan atas dasar teori sehingga rasio akan mengolahnya  menjadi fakta obyektif. Seperti yang dijelaskan Comte dalam pendapatnya bahwa suatu pernyataan akan dianggap benar apabila sesuai dengan fakta atau data empiris sebaliknya suatu pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris oleh karena itu kebenaran bagi positifisme bersifat riil dan pragmatic.Secara epistemologi comte dalam pemikirannya,menggunakan metode observasi,eksperimen dan komparasi. Ketiga konsep diatas menitik beratkan pada indera sebagai pengambil obyek yang diproses oleh akal sehingga dikenal dengan fakta obyektif, Dalam penentuan obyek positif, Comte sengaja menggunakan distingsi sebagai pembeda.
  Fungsi pembeda ini merupakan hanya untuk memberikan penyeimbang dari data yang ada seperti contoh yang pasti dan yang ragu,yang ada dan yang tidak ada, yang shaheh dan yang tidak shaheh. Oleh karena itu dari metode yang dipakai Comte,bisa digeneralisasikan “bahwa metode yang diterapkan ilmu alam bisa langsung diterapkan dalam ilmu sosial dengan analisa fungsi struktur manusia(secara sosial)”.Secara metodologis fakta sosial harus dapat diukur atau analisa dengan obyektif oleh peneliti  dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan oleh Kerlinger,1973 dalam bukunya muhammad muslih bahwa; ilmu pengetahuan haruslah dapat di/ter-amati(observable),dapat di/ter-ulang(repeatable),dapat di/ter-ukur(measurable),dapat di/ter-uji(testable) dan dapat di/ter-ramalkan(predictable)


F.    AKSIOLOGI

 Secara aksiologi filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empirik logis dan bebas nilai,berbeda dengan filsafat fenomenologi yang mengakui kebenaran secara luas yaitu mengakui kebenaran empirik, kebenaran logis,kebenaran etik dan kebenaran transendental,karena para ahli fenomenologi mengakui bahwa kemampuan manusia dalam mencari kebenaran bukan hanya pada indra dan akal akan tetapi juga akal budi manusia.maka dari itu ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai(value free),akan tetapi bermuatan nilai(value bound), tergantung pada aliran etik yang dianutnya apakah naturalisme,hedonisme,utilitarianisme,idealisme,vitalisme,ataukah theologisme.
Bentuk dari perkembangan filsafat positifisme adanya pola metodologi kuantitatif pada ilmu sosial. Penerapan positivisme menuntut perencanaan yang rinci, konkret dan terukur semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik.Perilaku manusia secara sosial dan budaya dalam positivisme diharapkan dapat menjadi hukum-hukum yang pasti,namun pada post-positivisme banyak tokoh yang mencoba mengevaluasi,dan menghasilkan teori yang sesuai dengan paradigma sosial sendiri.
Pengaruh filsafat dalam dunia intelektual cukup mengagungkan,berawal dari yunani kuno kemudian bergeser ke seluruh belahan dunia. Dunia tanpa filsafat terasa hampa,karena akan menghasilkan pemikiran yang statis. Pertarungan filsafat dari berbagai dimensi dari yunani mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam filsafat islam.pada era modern di mana semua ilmu pengetahuan berstandarkan akal bahkan mistisisme agama juga mendapat tantangan yang berat bagaimana bisa  menunjukkan kepada penganutnya, sehingga agama tidak saja menjadi idiologi rohaniah ,akan tetapi menjadi jasmaniah. Comte dalam hal ini mengakui perkembangan pemikiran manusia,yang berdasarkan akal,akan tetapi dia tidak menjelaskan emanasi tuhan.


KONKLUSI


Paparan diatas dapat diambil konklusi bahwa,Auguste Comte sebagai pencetus positivisme yang telah menghasilkan pengetahuan sosial dengan menggunakan metodologi alamiah. Pengaruh Comte dalam metodologi telah membumi selama ±400 tahun,sehingga wajar sekali kalau cara itu sampai merasuk dalam alam bawah sadar manusia. Positifisme  yang telah masuk pada pola pemikiran kita sangat erat sekali seperti contoh dalam kehidupan sehari-hari selalu menuntut yang sesuai dengan akal atau berdasarkan bukti empirik. Bahkan pengetahuan agama dan wahyu dituntut adanya proses sesuai akal dan panca indera yang harus dapat dibuktikan dengan fakta-fakta obyektif.
Sekalipun telah mampu menguasai pola pemikiran yang sangat lama,positivisme tidak lepas dari kritikan,yang mencoba menguji kekuatan kebenarannya diantaranya datang dari Max Weber bahwa Agama sebagai candu masyarakat,sementara Comte dalam keagamaan mencoba memberikan kebebasan yang luas dan tidak ada paksaan. Walaupun banyak yang tidak mengakui kebenaran Comte akan tetapi sungguh Naif,bahwa cara itu justru banyak dikembangkan Masyarakat dan bahkan dipakai untuk suatu kepentingan negatif(kepentingan sendiri yang merugikan orang lain).
demikian makalah ini telah dipresentasikan dan diverifikasi dihadapan dosen pembimbing serta mahasiswa pascasarjana STAIN Kediri,terima kasih dan mohon ma’af atas kekurangannya.



REFERENSI

Muhammad muslih. Filsafat ilmu: kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.(Yogyakarta:Belukar.2006)
Moh.Kasiram. Metodologi penelitian”Refleksi pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian” (Malang: UIN-Press.2008)
Poedjawijatna, Pembimbing ke arah alam filsafat,Jakarta.Reneka Cipta,1997
Soekmono, sejarah kebudayaan indonesia jilid I,Yogyakarta:kanisius,1981
Simon De Beauvioir. Diterjemahkan dari buku SECOND SEX”Facts and Myths”(New York: Vintage.1989)163-164
Wiiliam Barrett. Mencari Jiwa: Dari Descartes sampai Komputer.Yogyakarta: Adipura.2001


silakan KLIK di sini untuk mendapatkan materi lainnya... (tunggu 5 detik kemudian klik Lewati/Skip)

Wednesday 2 May 2012



A. Pendahuluan
Immanuel Kant, seorang filosof dari Jerman yang sangat popular dengan filsafatnya yang ia sebut sebagai Filsafat Kritisisme. Disebut kritisisme karena didalamnya, terdapat upaya kritik atas filsafat rasionalisme dan empirisme. 
Seorang pengkritik tidak mungkin dapat mengkritik dengan baik dan mendalam, jika tanpa ada pengetahuan yang mendalam mengenai apa yang dikritiknya. Demikian pula Immanuel Kant, dalam proses penemuan terhadap filsafat kritisisme ini, Kant telah melalui tahapan-tahapan pemahaman, bahkan sampai pada meyakini kebenaran dari filsafat rasionalisme maupun empirisme. 
Dalam pembahasan berikutnya akan dijabarkan tahapan-tahapan filsafat Immanuel Kant. Sampai akhirnya secara radikal, Kant menyampaikan filsafat kritisisme ini. Setelah mendeskripsikan data terkait, selanjutnya penulis akan   menghubungkan dan mendialogkannya dengan gagasan yang lain dan akhirnya membuat interpretasi sebagai refleksi penulis sendiri.
Untuk membatasi masalah, berikut adalah rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini: 1. Biografi Immanuel Kant; 2. Tahap-tahap Perkembangan Pemikiran Immanuel Kant; 3. Pembahasaan Filsafat Kritisisme;  

B. Biografi Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, Prusia Timur, Jerman. Berasal dari keluarga kekurangan. Orang tua Kant adalah penganut setia gerakan Peitisme.  Pada tahun 1755, Kant memperoleh gelar Doktor dengan Disertasi berjudul: “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api,”sebuah karya di bidang ilmu alam. Orang-orang menyukai Kant karena dia menjunjung tinggi Moral, sangat santun, sering kali akrab berdialog dengan orang-orang pada saat jalan-jalan sore di Koninsberg. Faktanya, Kant tidak terlalu menonjolkan keilmuannya atau dengan kata lain Kant itu orang yang Rendah diri. 

C. Tahap-tahap Perkembangan Pemikiran Immanuel Kant
Perkembangan pemikiran Kant mengalami empat tahap. Tahap pertama ialah ketika Kant masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolff, yaitu sampai tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik. Tahap kedua berlangsung antara tahun 1760-1770. Periode ini disebut periode empiristik, karena pada periode ini Kant sangat dipengaruhi oleh David Hume. Tahap ketiga, mulai tahun 1770, dikenal sebagai “tahap kritis.” Tahap keempat berlangsung antara tahun 1790-1804. Pada periodesasi ini Kant mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. 
Dari keempat tahap perkembangan pemikiran Kant diatas, dapat diketahui bahwa sebelum Kant melakukan kritik atas rasionalisme dan empirisme, ternyata Kant sendiri pernah berada dalam tahap dipengaruhi rasionalisme dan juga empirisme. Namun kelihatannya, kegiatan berpikir secara radikal dan menyeluruh sudah menjadi bagian dari kehidupan Kant. Pemikiran Kant senantiasa hidup untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang diyakininya. Saat Kant berada dalam pengaruh Leibniz-Wolff di tahap pertama, Kant tidak lantas fanatik buta dan tidak mau menerima pembaruan dan perubahan dari luar. Begitu pula pada tahap selanjutnya, selama 10 tahun Kant berada dalam pengaruh Hume mengenai filsafat empirisme, namun Kant masih terus melanjutkan pemikirannya sampai pada tahap yang diyakininya. 
Kant mengatakan: “Akal tidak boleh bertindak seperti seorang mahasiswa yang hanya puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.”  
Selain menurut Muslih diatas, terdapat pendapat lain dari Juhaya S. Praja yang menyatakan bahwa perkembangan pemikiran Kant mengalami dua tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis.  Meski berbeda jumlah tahapan perkembangan pemikiran Kant, namun antara Muslih dan Juhaya tidak terdapat pertentangan secara substantif, bahkan keduanya saling menjelaskan.
  
D. Pembahasan Filsafat Kritisisme 
Amin Abdullah menyatakan bahwa filsafat kritis Immanuel Kant adalah karya monumental yang berusaha memadukan pandangan terbaik dari pihak rasional dan empiris, meskipun Kant sendiri tidak menyetujui dua-duanya secara total.  
Sebelum membahas filsafat kritisisme ini lebih jauh, sebaiknya terlebih dahulu digambarkan perbedaan mendasar antara rasionalisme dan empirisme, yaitu sebagai berikut:
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai upaya raksasa dalam mendamaikan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur a priori dalam menemukan pengetahuan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari pengalaman (ide bawaan ala Deskrates). Sedangkan empirisme menekankan unsur aposteriori, berarti unsur yang berasal dari pengalaman (as a white paper). Menurut Kant, baik rasionalisasi maupun empirisme adalah berat sebelah.  
Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari idea yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum  sebagai suatu pernyataan yang pasti. 
Sedangkan teori empiris yang sangat menitikberatkan pada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan, dimana hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. 
Dari kritik atas kedua teori diatas, kemudian Kant bermaksud untuk mengkombinasi antara rasionalis dan empiris dalam proses pengenalan pengetahuan. Menurut Kant, pengetahuan itu harus bersifat mutlak, yakni umum dan niscaya, pasti, sehingga mempunyai nilai ilmiah. Ia dapat diverifikasi atau difalsifikasi lepas dari pengalaman aktual. Oleh karena itu, Kant menerima adanya keputusan sintesis a priori, yang didalamnya terdapat pengalaman, moralitas, ilmu, dan metafisika, sebagai prinsip-prinsipnya.  
Berikut adalah skema proses terjadinya pengetahuan menurut Immanuel Kant:

Langkah Kant dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir kritik atas daya pertimbangan.

a. Kritik der Reinen Vernunft Reason, Critique of Pure Reason (Kritik atas Rasio Murni). 
Pada taraf indra, ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori yaitu ruang dan waktu. Pada taraf akal budi, Kant membedakan akal budi dengan rasio. Tugas akal budi ialah memikirkan suatu hal atau data-data yang ditangkap oleh indrawi. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesis antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan bentuk adalah a priori, bentuk a priori ini dinamakan Kant sebagai kategori.
Pada taraf rasio, kant menyatakan bahwa tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide, yaitu Allah, jiwa dan dunia. Apa yang dimaksud ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam gejala psikis (jiwa), gejala jasmani (dunia) dan gejala yang ada (Allah).
Akal murni adalah akal yang bekerja secara logis. Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indra.
Menurut Kant, jiwa kita merupakan organ yang aktif, dimaksudkan sebagai jiwa yang inheren, secara aktif mengkoordinasi sensasi-sensasi yang masuk dengan idea-idea kita. Karena koordinasi itulah maka pengalaman yang masuk, yang tadinya kacau, menjadi tersusun teratur.
Sensasi ialah pengindraan, sensasi itu hanyalah suatu keadaan jiwa menanggapi rangsangan (stimulus). Sensasi itu masuk melalui alat indra, melalui indra itu lalu masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan, kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu, saluran itu adalah hukum-hukum. Karena hukum-hukum itulah maka tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan itu diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Contohnya, Jam berdetak, Anda tidak mendengarnya, akan tetapi, detak yang sama bahkan lebih rendah, akan didengar bila kita bertujuan ingin mendengarkannya.
Kemudian Jiwa (mind) yang memberi arti terhadap stimulus itu mengadakan seleksi dengan menggunakan dua cara yang amat sederhana, Menurut Kant, Pesan-pesan (dari stimulus) disusun sesuai dengan ruang (tempat) datangnya sensasi, dan waktu terjadinya itu. Mind itulah yang mengerjakan sesuatu itu, yang menempatkan sensasi dalam ruang dan waktu, mensifatinya dengan ini atau itu. Ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang dipahami, ruang dan waktu itu adalah alat persepsi. Oleh karena itu ruang dan waktu itu a priori.
Kant kemudian memberikan penjelasan lagi, Dunia mempunyai susunan seperti yang kita pahami bukanlah oleh dirinya sendiri, melainkan oleh pikiran kita. Mula-mula berupa klasifikasi sensasi, selanjutnya klasifikasi sains, seterusnya klasifikasi filsafat. Hukum-hukum itulah yang mengerjakan klasifikasi itu.
Selanjutnya Kant membatasi sains, kepastian dan keabsolutan dasar sains tetap terbatas, Objek yang tampak merupakan fenomenon (penampakan). Keutuhan objek yang kita tangkap dengan daya struktur mental yang inheren, melalui sensasi, terus ke persepsi lalu ke konsep idea, Contoh, Kita tidak tahu pasti dengan bulan, yang kita tahu hanya idea tentang bulan.
Sains tidak mengetahui noumenon (tidak tampaknya suatu) ia hanya tahu fenomenon saja. Dari sini jelas bahwa Kant mampu memisahkan fenomenon dengan noumenon .
Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan:
1) Apakah yang bisa kuketahui?
2) Apakah yang harus kulakukan?
3) Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:
1) Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi”(noumenon) saja.
2) Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
3) Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.

b.   The Critique of Practical Reason (Pembahasan tentang Akal Praktis)
Kehidupan memerlukan kebenaran, kebenaran tidak dapat seluruhnya diperoleh dengan indra dan akal, indra dan akal itu terbatas kemampuannya. Menurut Kant, dasar a priori itu ada pada sains, akan tetapi, indra (sains) itu terbatas, disinilah Critique of The Practical Reason berbicara, Kant bertanya: Bila akal dan indra tidak dapat diandalkan dalam mempelajari agama, apa selanjutnya? Jawabannya adalah akal atau indra dapat terus berkembang dan dikembangkan, namun setelah semua itu, moral merupakan ukuran kebenaran.
Moral adalah suara hati, perasaan, menentukan sesuatu itu benar atau salah. Moral itu Imperatif Kategori, perintah tanpa syarat yang ada dalam kesadaran kita. Kata hati itu memerintah, perintah itu ialah perintah untuk berbuat sesuai dengan keinginan tetapi dalam batas kewajaran. Hukum kewajaran bersifat universal. Ia merincikan moral sebagai berikut;
Menurut Kant, apa yang dianggap sebagai sikap moral sering kali merupakan sikap yang secara moral justru harus dinilai negatif. Heteronomi moral adalah sikap dimana orang memenuhi kewajibannya bukan karena ia insaf bahwa kewajiban itu pantas dipenuhi, melainkan karena tertekan, takut berdosa, dan sebagainya. Dalam tuntutan agama, moralitas heteronom berarti bahwa orang menaati peraturan tetapi tanpa melihat nilai dan maknanya. Heteronomi moral ini merendahkan pandangan terhadap seseorang, dan merupakan penyimpangan dari sikap moral yang sebenar-benarnya.
Sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonomi moral, otonomi moral berarti bahwa manusia menaati kewajibannya karena ia sadar diri, bukan karena terbebani, terkekang, tuntutan, dsb. Otonomi juga menuntut kerendahan hati untuk menerima bahwa kita menjadi bagian dari masyarakat dan bersedia untuk hidup sesuai dengan aturan-aturan masyarakat yang berdasarkan hukum. Hukum adalah tatanan normatif lahiriah masyarakat. 

c.   Critique of Judgement (kritik atas daya pertimbangan)
Kritik atas daya pertimbangan dimaksudkan oleh Kant untuk mengerti persesuaian antara kritik atas rasio murni dan kritik atas rasio praktis. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estesis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan adanya keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. 
Sampai disini penulis ingin mengemukakan bahwa dalam filsafat kritisisme Kant ini tidak bermaksud mencari mana yang lebih benar dari yang lainnya. Rasionalisme lebih benar dari empirisme kah, ataukah sebaliknya, empirisme lebih benar dari rasionalisme. Pemikiran monumental Kant ini hendak memadukan kedua pendapat yang awalnya bertolak belakang, menjadi sebuah paduan yang saling melengkapi. Pengetahuan adalah hasil dari perpaduan rasio yang hidup dengan dihadapkan kepada materi empirik. 
Atau dengan kata lain, kritisisme Kant sekaligus mengakhiri pendapat sebelumnya yang menganggap akal pikiran hanyalah berfungsi sebagai “container” (alat tempat menyimpan sesuatu dan bersifat pasif). Dalam kritisisme, pengetahuan adalah terkait dengan terjalinnya hubungan yang kokoh antara ide-ide (sebagai isi pokok daripada akal pikiran), dan dunia luar pada umumnya. Adalah akal pikiran yang dikatakan mempunyai ide-ide tertentu dalam dirinya sendiri yang dapat memaksa kita untuk menyatukan sifat-sifat dari dunia luar dalam satu kerangka keilmuan tertentu



Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Honer, Stanley M. dan Hunt, Thomas C.. “Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan” dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jujun S. Suriasumantri. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. 
http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/13/peta-pemikiran-immanuel-kant/ diakses tanggal 26 November 2011.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2006.
Poespoprodjo, W. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2005.

silakan KLIK di sini untuk mendapatkan materi lainnya... (tunggu 5 detik kemudian klik Lewati/Skip)

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, dimana ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja pikiran yang diharapkan mempunyai karakteristik tertentu berupa sifat rasional dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa diandalkan. Dalam hal ini metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun pengetahuan. Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasionil yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya, dengan didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Pendekatan rasional yang digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah menuju dan dapat menghasilkan pengetahuan inilah yang disebut metode ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. 
Pada umumnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan terdapat metode-metode yang pada umumnya sama. Perbedaannya pertama metode ilmiah yang bersifat umum terdiri dari metode analisis sintesis dan metode non deduksi . metode analisis sintesis adalah gabungan antara metode analisis dan metode sintesis. Sedangkan metode non deduksi adalah gabungan metode deduksi dan metode induksi. Kedua, dalam penyelidikan ilmiah kita mengenal metode penelitian yang berbentuk metode siklus empiris dan metode vertikal/ metode linier. Metode siklus empiris biasanya dilakukan di ruang tertutup seperti laboratorium, sedangkan metode vertikal/linier biasanya dilakukan di alam bebas / tempat terbuka . Namun dalam hal ini kami akan membahas metode induksi, sesuai dengan tugas yang telah diberikan. 

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Induksi
Definisi metode induksi menurut soejono soemargono adalah cara penanganan terhadap suatu obyek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum/lebih umum berdasarkan atas pemahaman/pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus. 
Sedangkan menurut  Francis Bacon, (yang dikenal sebagai pengemban utama metode induksi) Induksi adalah sebuah metode yang  bertitik pangkal pada  pemeriksaan (eksperimen)   mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak maju menuju suatu penafsiran atas alam (interpretatio natura). Beliau menambahkan induksi yang tepat adalah induksi yang dilakukan secara teliti dan telaten, bebas dari pengandaian agar obyek dapat dipersepsi sebagaimana adanya.
Dari beberapa devinisi di atas, dapat kami ambil pengertian bahwa Metode induksi adalah proses pemikiran dengan cara mengamati dan meneliti fenomena-fenomena yang terjadi dan kemudian digeneralisasikan sebagai kesimpulan. Dengan kata lain metode induksi  adalah cara berpikir dari hal-hal yang bersifat kusus (particular) menuju ke  hal-hal yang bersifat umum. Contoh: Logam besi dipanaskan memuai, logam perak dipanaskan memuai, logam emas dipanaskan memuai, semua logam dipanaskan memuai

B. Cara Kerja Metode Induksi
1. Metode induksi ala Francis Bacon (1561-6126)
Ada dua cara untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan induksi.
a. Rasio bertitik pangkal pada pengamatan indrawi yang partikular, lalu maju sampai pada ungkapan-ungkapan yang paling umum (yang disebut Axiomata) guna menurunkan secara deduktis ungkapan-ungkapan secara umum berdasarkan ungkapan-ungkapan yang paling umum.
b. Rasio berpangkal pada pengamatan indrawi yang partikulan guna merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, lalu secara tahap maju kepada ungkapan-ungkapan yang lebih umum.  
Inti ajaran induksi bacon adalah pengalaman/pengamatan yang tidak dipengaruhi oleh anggapan apapun. Sehingga bebas dari segala pengandaian, spekulasi awal, anggapan, dugaan, pengaruh teori, Dengan demikian obyek dapat kita persepsi sebagaimana adanya tanpa ada bias ilmiah.
Tanggapan kritis yang disampaikan oleh David Hume, tentang metode ini, pertama bahwa  kita tidak pernah melihat alam dengan mata yang kosong sama sekali tanpa ide tertentu. Karena ketika kita mengamati suatu obyek, kita sudah punya kerangka teoritis tertentu(asumsi). Kita sudah punya hipotesis tertentu sebagai hasil abduksi (bdk. Kant dengan pengetahuan sintesis-apriori). Bacon mengawasi kita untuk tidak terbelenggu oleh asumsi-asumsi dasar kita. Namun justru melalui asumsi ini kita dapat lebih cermat mengenal sesuatu yang lain. Juga bahwa asumsi dan teori tersebut hanyalah bersifat sementara saja ( hanya sebagai alat bantu). Kedua bahwa fakta, data, fenomena tak pernah menunjukkan dirinya sebagai fakta, data dan fenomena yang telanjang begitu saja, fakta perlu ditafsirkan, karna itu spekulasi ilmiah itu perlu. Ketiga bahwa induksi selalu tak pernah lengkap. Kita tak pernah mencakup semua fakta dan data yang relevan. Kita hanya mendasarkan diri pada sebagian data yang kita temukan lalu menarik kesimpulan umum dari fakta itu yang diandaikan berlaku untuk semua fakta dan data. Juga bahwa kebenaran kesimpulan tak pernah mutlak dan devinitif.
Ada 4 hal yang perlu di hindari dalam berfikir induksi :
a. Idola tribus (Tribus : manusia pada umumnya Awam), yaitu menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab yang di periksa secara dangkal tanpa melalui pengamatan dan percobaan yang memadai.
b. Idola specus (Specus : gua), yaitu penarikan kesimpulan yang hanya didasarkan pada prasangka, prejudice, selera (A priori).
c. Idola fori (Forum : pasar), yaitu menarik kesimpulan hanya karena umum berpendapat demikian, atau sekedar mengikuti pendapat umum (Opini publik).
d. Idola theatri (Theatrum : panggung), maksudnya menarik kesimpulan dengan bersandarkan pada kepercayaan  dogmatis, mitos, kekuatan gaib,dan seterusnya, karena menganggap bahwa kenyataan di dunia ini hanyalah panggung sandiwara.
Manfaat induksi gaya Bacon:
a. Ilmuan benar-benar dapat melihat kenyataan secara obyektif. Kenyataan tidak dipaksakan untuk cocok dengan apa yang dipikirkan oleh ilmuan.
b. Kegiatan ilmiah tidak jatuh menjadi ideologi. Pola pikir dan cara kerja ideologis selalu cenderung membenarkan ideologi yang ada, yaitu rumusan-rumusan baku yang dianggap benar dengan sendirinya, dan karena itu semua macam hal dipaksakan untuk membenarkan “keluhuran” ideologi itu. 

2. Metode Induksi Menurut John Stuart Mill (1806-1873)
Untuk dapat mengerti induksi model Mill, kita perlu mengingat kembali hubungan kausal dengan dua aksioma, yaitu :
a. Tak ada sesuatu disebut sebab bagi suatu akibat bila ia tidak dijumpai pada saat akibat terjadi.
b. Tidak ada sesuatu disebut sebab bagi suatu akibat bila ia dijumpai pada saat tidak terjadi akibat. 
c. Dua aksioma ini menjadi dasar Mill untuk merumuskan metode penyimpulan induksi Mill.
Cara kerja induksi menurut John Stuart Mill, sebagai berikut:
a. Metode Kesesuaian (method of angreement) Bila dua macam peristiwa/ lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-masing peristiwa itu memiliki faktor yang sama, maka faktor itu menjadi penyebab satu-satunya bagi gejala yang diselidiki.
b. Metode Perbedaan ( method of defference) Jika sebuah peristiwa mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, namun faktor-faktornya sama kecuali satu, yang mana faktor(yang satu) itu terdapat  pada peristiwa pertama. Maka itulah faktor-faktor yang menyebabkan peristiwa itu berbeda, Karenanya dapat disimpulkan bahwa satu faktor (yang berbeda) itu sebagai suatu sebab terjadinya suatu gejala pembeda yang diseliiki tersebut.
c. Metode Persamaan Variasi (method of Conconitan Variation) Metode ini dikenal dengan metode selang seling yakni: jika suatu gejala mengalami perubahan ketika gejala lain berubah dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala lain / berhubungan secara sebab akibat.
d. Metode Menyisakan ( method of Residues) Jika ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan keadaan tertentu itu adalah akibat dari factor yang mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada peristiwa itu disebabkan oleh faktor lain. 

C. Langkah-langkah Metode Induksi
Kita bedakan dua model langkah metode induksi ini, yaitu metode induksi murni dan metode induksi yang telah dimodifikasi.
Langkah-langkah metode induksi murni:
1. Identifikasi masalah
2. Pengamatan dan pengumpulan data
3. Perumusan hipotesis
4. Pengujian hipotesis
Langkah-langkah metode induksi yang telah dimodifikasi:
1. Adanya situasi masalah
Situasi masalah adalah situasi dimana pengetahuan yang ada (hukum atau teori ilmiah) tidak mampu memberi penjelasan tentang kenyataan yang dihadapi. Contoh : Mengapa terjadi kenakalan remaja ? Mengapa batu yang dilemparkan ke udara jatuh ke tanah ?. Hal yang sangat menentukan keberhasilan penelitian adalah ketepatan dan kejelasan perumusan masalah . 
2. Pengajuan hipotesis
Perumusan dan pengujian hipotetis. Hipotetis adalah pernyataan yang berisikan dugaan sementara mengenai sebab dari suatu masalah tertentu (fakta atau peristiwa) yang dianggap benar untuk dibuktikan kebenarannya lebih lanjut. Kegunaan hipotetis :  Memberikan batasan dan kerangka penelitian, panduan dalam kegiatan penelitian untuk mengarahkan perhatian peneliti pada gejala, fakta dan data yang ada, dan alat untuk mengkaitkan fakta dan data yang tercerai-berai ke dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan mengkaitkan di antara fakta dan data tersebut.
3. Penelitian lapangan
4. Pengujian hipotesis
Langkah-langkah metode induksi yang telah dimodifikasi ini berhubungan dengan keberataan-keberatan terhadap metode induksi murni di atas. 
D. Kelemahan dan Kelebihan Metode Induksi
Kelemahan  metode induksi, antara lain:
1. Induksi selalu tidak pernah lengkap. Hal ini disebabkan karena:
a. Hanya berdasarkan fakta dan data yang ditemukan saja, kemudian menarik sebuah kesimpulan umum yang berlaku untuk semua data dan fakta, termasuk data dan fakta yang belum ditemukan.
b. Kabenaran kesimpulanya tidak pernah bersifat devinitif dan pasti, karena  salalu saja terbuka kemungkinan bahwa ada fakta dan data baru yang akan menggugurkan kesimpulan tadi ( kebenarannya bersifat sementara).
Contoh: 
Hari pertama kita melihat bahwa angsa berwarna putih, 
Hari kedua  kita melihat angsa berwarna putih, 
Hari ketiga  kita melihat angsa berwarna putih,
Kita simpulkan bahwa angsa itu berwarna putih
Beberapa abat kemudian ada seorang  tokoh dari inggris yang sedang berada di Afrika
Melihat angsa berwarna hitam, maka kebenaran bahwa angsa berwarna putih terhapus oleh penemuan baru yakni ada angsa berwarna hitam. 
Prof. Dr. Ir soetriono menambahkan :
2. Perbedaan antara lingkungan orang yang menarik induksi dengan obyek pengamatan. Dalam hal ini kebudayaan yang sangat bervariasi/ dengan kata lain setting/konteksnya berbeda.
3. Sejauh mana pembuat pernyataan bisa melepaskan diri dari prasangka pribadi. 
Kelebihan metode induksi antara lain :
Kelebihan meode induksi ini adalah ilmu pengetahuan akan lebih cepat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

KESIMPULAN

1. Induksi adalah kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau partikular tertentu lalu ditarik kesimpulan yang dianggap benar dan berlaku umum.
2. Metode induksi dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-6126). Inti dari induksi gaya Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan harus berawal dan dikendalikan oleh pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandangan apapun (bebas nilai, opini, praduga, asumsi dan sejenisnya).
3. Langkah-langkah metode induksi dibedakan menjadi :
a. Metode induksi murni yang meliputi: Identifikasi masalah, Pengamatan dan pengumpulan data, Perumusan hipotesis, dan Pengujian hipotesis
b. Metode induksi yang telah dimodifikasi yang meliputi : Adanya situasi masalah, pengajuan hipotesis, penelitian lapangan, dan pengujian hipotesis
4. Kelemahan dan kelebihan metode induksi
a. Kelemahan metode induksi antara lain bahwa metode induksi selalu tidak pernah lengkap; Kabenaran kesimpulanya tidak pernah bersifat devinitif dan pasti, karena  salalu saja terbuka kemungkinan bahwa ada fakta dan data baru yang akan menggugurkan kesimpulan tadi (kebenarannya bersifat sementara); Dan bagaimanapun pembuat pernyataan akan sulit untuk bisa melepaskan diri dari prasangka pribadi.
b. Kelebihan metode induksi ini adalah ilmu pengetahuan akan lebih cepat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.


http:// Metode Induksi dan Deduksi, istanailmu.com/2011/04/12/ /html.
Kontrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Prestasi Pustaka Raya, 2011.
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma danKerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2006.
Ridwan Fendy, Dimensi Filsafat Ilmu, http.Wikipedia, May, 6rd. 2011.
Soetrisno dan SRDM Rita Hanafie, Flsafat Ilmu dan Metdologi Penelitian, Yogyakarta : Pustaka  Andi, 2010.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2010.