Wednesday, 16 May 2012




A.    Latar Belakang
Ilmu merupakan pengetahuan yang  di dapatkan lewat metode ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana berfikir, yang memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat.  Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari.
Ilmu pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di alam semesta, dan sampai hari ini telah banyak penemuan dalam berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang ilmu-ilmu sosial, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi dan lain sebagainya. Penemuan dan lahirnya displin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia.
Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dari pemikiran dan ilmu pengetahuan tersebut. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan teori lainnya sehingga menjadikan pengetahuan yang lebih utuh. Pemikiran-pemikiran epitemologis telah membentuk tata cara berpikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemologi menjadi titik tolak maju mundurnya laju ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20, pengaruh positivisme dan neo-positivisme telah mempengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology). Sehingga menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan mengabaikan tingkatan-tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio manusia (metafisika, bahkan agama).
Cara pandang manusia diarahkan kepada manfaat praktis dan sesaat saja, budaya konsumsi menjadikan manusia hanya mengutamakan diri sendiri. Menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang hanya memiliki hak untuk hidup. Ringkasnya semua makhluk hanya diperuntukkan bagi kelansungan hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dari makhluk lainnya. Lihat saja misalnya dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, bagaimana eksploitasi terhadap alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu sendiri. Lihat juga dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, bagaiman prinsip-prinsip hidup bersama hanya untuk menaikkan satu golongan dan mendeskreditkan golongan lainnya. Pada dasarnya ini berawal dari persoalan epistemology yang mendasar wujud bangun dan rancang dari ilmu pengetahuan.    
Akan tetapi, kemudian muncul seorang Filosof, Karl Raimund Popper yang mengajukan kritik terhadap arus neo-positivisme yang bercorak verifikatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemology yang dikenal dengan Falsifikasi.

B.    Rumusan Masalah
1.    Siapakah Karl R. Popper?
2.    Bagaimanakah kritiknya terhadap induksi dan verifikasi?
3.    Apakah falsivikasi itu?
4.    Bagaimanakah tawaran yang diberikan oleh Popper tentang demarkasi antara ilmu sejati dan ilmu semu?


PEMBAHASAN


A.    Biografi Karl R. Popper
Popper memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper. Seorang filosof sains keturunan Inggris-Austria. Ia dilahirkan di Wina pada Juli 1902 dan kemudian meninggal pada Agustus 1994. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara, kedua kakaknya adalah perempuan. Bapaknya Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang doktor hukum dari University of Vienna, yang beragama yahudi. Ibunya Jenny Schiff adalah seorang ahli musik.
Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar belakang keilmuan yang cukup variatif dan terkesan menjadi seorang yang anti terhadap kemapanan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu; Pertama, pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena pelajaran-pelajaran yang disajikan sangat membosankan. Kedua, menjadi pendengar bebas pada universitas Wina dan empat tahun kemudian ia diterima sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Ketiga, Popper memilih mata kuliah matematika dan fisika teoritis. Dalam pandangannya dengan matematika ia akan dapat mengetahui standar-standar kebenaran .
Ketika menjadi mahasiswa, Popper bukan saja mempelajari paham-paham sosialisme, tetapi juga komunisme, bahkan pernah mengidentikkan dirinya sebagai pengikut paham komunis. Tepatnya di saat ia berusia 17 tahun. Sebagaimana dijelaskan oleh Popper dalam autobiografinya, pada awalnya ia sangat tertarik pada Marxisme. Namun, kemudian ia menyadari betapa bahayanya paham tersebut bahkan dipandang sangat tidak bertanggung jawab terhadap kebaikan massa . Hal ini menyebabkan ia kecewa dan menjadi seorang yang anti komunis dan marxisme. Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh ucapan Socrates “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Inspirasi inilah yang kemudian membangkitkan obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang kritis. Dengan semangat keilmuannya itu, maka Popper bukan saja berhasil memiliki ijazah untuk mengajar matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula memperoleh gelar “doctor filsafat” (Ph.D) pada tahun 1928 dengan disertasi tentang Zur Methodenfrage der Denpsychologie (Masalah metodologi dalam psikologi pemikiran) .
Setelah masa itu, perkenalannya Popper dengan Albert Einstein dan Karl Buhler mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori kritis. Tema-tema sentral yang menjadi bahan diskusi diantaranya masalah indeterminisme, problem-problem operasionalisme, positivisme dengan induksi dan verifikasinya. Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan teori-teori kritisnya baik mengenai deduksi dengan objektifismenya, maupun demarkasi dengan falsifikasinya. Upayanya itu bukan saja dikumandangkan di Wina, tetapi juga di Inggris antara tahun 1935-1936, kemudian di Selandia Baru (tahun 1936-1945), dan di Amerika, yaitu mulai tahun 1950 ketika Popper memberikan serangkaian kuliah di Harvard.
Meskipun berada di Wina akan tetapi Popper tidak tergolong bagian dari anggota mazhab Filsafat Wina atau dikenal juga dengan Lingkaran Wina (Vienna Circle) . Bukan saja ia terlepas dari keanggotaan dari gerakan tersebut, ia bahkan tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang mereka adakan. Meski pun ia banyak kenal dan sering melakukan kontak dengan aktifis mereka, seperti Viktor Kraft dan Herbert. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam terhadap kelompok lingkaran Wina, dimana kritikan yang ia kemukan akan kita lihat selanjutnya. 
Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia. Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain : Logic der Forschung (logika penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam Bahasa Inggris pada tahun 1972 dengan judul The Logic of Scientific Discovery. Ketika di Selandia Baru Popper menulis The Poverty of Historicism diterbitkan pada tahun 1957, dan The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1966. Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures and Refutation; The Growth of Scientific Knowledge (1972). Buku ini berisi tentang problematika pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang menyertainya. Kemudian buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu Objective Knowledge; An Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam buku ini dijabarkan pula teorinya tentang “Dunia 3”, dunia ojektif, yaitu dunia yang secara historis merupakan asal ilmu pengetahuan.

B.    Induksi dan Verifikasi
Sebelum masuk kepada memahami teori falsifikasi yang dikembangkan oleh Karl Popper, hendaknya terlebih dahulu paham mengenai induksi dan verifikasi. Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh Popper merupakan bantahan dan sanggahan dari induksi dan verifikasi yang banyak dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya. Sebut saja Francis Bacon (1561-1626), yang disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandalkan metode induksi dalam menerima kebenaran sebuah teori, kemudian metode ini dikemas ulang oleh Jhon Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan dianggap benar dengan cara penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam.
Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuan dan hampir tidak pernah diperdebatkan. Metode ini menjadi karakter dalam ilmu-ilmu pengetahuan dengan melakukan generalisasi dari hal-hal yang partikular, atau dikatakan juga metode induksi berangkat dari beberapa kasus partikular kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan pengamatan terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan melakukan induksi dapat dibuat teori yang lebih umum bahwa semua angsa berwarna putih. Metode induksi ini terus mengalami perkuatan oleh para filsuf diantaranya Jhon. S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif sebagai metode ilmiah yang valid .
Karl Popper mengkritik dan mempertanyakan metode induksi yang sudah mapan bahkan ia menolak metode induksi dan menganggapnya sebagai metode yang tidak sah secara logis. Popper kemudian memperkenalkan metode falsifikasi sebagai berikut:
P1 -------- >    TS    -------- >     EE     --------- >    P2
P1    : Problem yang ingin dipecahkan
TS    : Tentative Solution
EE    : Error Elimination
P2     : Problem baru yang timbul setelah dilakukan falsifikasi kritis.
Selanjutnya Popper juga dihadapkan oleh metode verifikasi, baik yang dikembangkan oleh Filsuf dalam lingkaran Wina maupun di luar Wina sendiri. Verifikasi telah memproklamirkan diri sebagai satu-satunya metode untuk menguji ilmiah atau tidaknya sebuah teori. Atau dikatakan juga apakah sesuatu itu meaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti). Juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science) atau ilmu semu (pseudo science). Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti ia tidak bermakna.
Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip tersebut maka filsafat tradisional, seperti pembahasan mengenai 'ada yang absolute', haruslah ditolak. Karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teologi maupun metafisika.
Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah mengantarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini. Ilmu pengetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan dengan metode verifikasi memudahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi terhadap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu dengan verifikasinya telah menjadi komponen terpenting dalam menjaga kehidupan manusia di alam. Ilmu yang telah melalui verifikasi dipandang sebagai kebenaran yang absolute, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai pernyataan-pernyataan semu yang menipu.

C.    Falsifikasi
Baik secara morfologis maupun semantik, perlu diuraikan bagaimana kata falsifikasi. Falsifikasi secara otomatis terkandung pada falsibilitas. Kata falsify itu sendiri adalah kata kerja jadian yang terbentuk dari kata sifat false yang berarti salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan 'menjadi'. Adapun falsification adalah bentuk kata benda dari kata kerja falsify. Dengan demikian jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi kata kerja dengan menambahkan akhiran ify sehingga menjadi falsify dan dibendakan dengan menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi falsification yang diIndonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti 'hal pembuktian salah'.
Falsifikasi adalah suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya sesuai dengan hasil observasi atau percobaan. Dengan kata lain menurut pandangan falsifikasionisme, ilmu dipandang sebagai satu set hipotesa yang bersifat tentatif untuk menggambarkan atau menghitung tingkah laku suatu aspek dunia atau universe. Jadi bagi mereka tidak ada suatu ilmu yang dibuat manusia bisa seratus persen sama apabila dikonfrontasi dengan hasil pengamatan dari kenyataan yang ada.
 Sebelum lebih jauh, maka akan diperlihatkan bagaimana Popper menjawab persoalan demarkasi dan mengangkat falsifikasi dalam ranah filsafat ilmu. Dalam hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh pengetahuan dan selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau bagian dari true sciences atau bagian dari pseudo scinces.
Menurut Popper, manusia dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman emprisis bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Perbedaan proses berpikir antara penganut induktivisme dengan penganut falsifikasionisme adalah:
    Ilmu menurut paham induktifisme dimulai dari pengamatan dan pengalaman > secara induktif ditarik suatu kesimpulan yang dianggap sebagai teori > berdasarkan teori tersebut dilakukan logika deduktif untuk menjelaskan (eksplanasi) dan kemudian membuat ramalan (prediksi) diuji kembali melalui pengamatan > diperoleh kesimpulan baru sebagai teori baru > dan seterusnya.
    Ilmu menurut paham falsifikasi dimulai dari masalah yang terdapat dalam dunia nyata > mengemukakan hipotesis berdasarkan eksplanasi yang telah ditarik secara deduktif > memecahkan masalah berdasarkan hipotesis > diperoleh kesimpulan sebagai teori > ada kesmpulan yang bisa memecahkan masalah dan ada kesimpulan yang tidak bisa memecahkan masalah (sebagai ketidakcocokan/falsely > yang tidak dapat memecahkan dianggap masalah yang perlu dipecahkan dengan hipotesis baru > dan seterusnya.
Dari uraian di atas dapat digambarkan penjelasannya sebagai berikut:
Induktivisme    Falsifikasionisme
Ilmu dimulai dari pengamatan    Ilmu dimulai dari masalah yang memerlukan pemecahan
Ilmu berkembang karena teori yang ditarik melalui induksi    Ilmu berkembang karena terjadinya ketidakcocokan antara hipotesis dengan masalah yang dihadapi sehingga menimbulkan masalah baru yang memerlukan hipotesis baru
Significance of the theory hanya ditentukan oleh hubungan antara pernyataan hasil observasi yang telah dikonfirmasi dengan teori yang didukungnya    The significance of the theory sangat bergantung pada historical context terbentuknya teori tersebut
Berdasarkan paham falsifikasi, ketidakcocokan bisa terjadi baik karena keadaan yang melekat pada manusia yang memberikan observasi maupun karena keadaan lingkungan dan waktu dari obyek yang diobservasi. Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dari insight individual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian pengetahauan dalam tataran teologis, metafisis bahkan mistis sekalipun dapat dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) yang bermakna (meaningful).
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana untuk membuktikan pengetahuan tersebut, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan hanya merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan criteria ilmiah tidaknya pengetahuan adalah kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji dalam lingkup; basa diuji (testability), bisa disalahkan (falsibility) dan bisa disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi kompenen untuk disangakal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan. 
Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi mencari pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori tersebut. Maka rangkaian tes berisi komponen-komponen penolakan terhadap teori tersebut, maka Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan ia akan selamanya hanya berupa hipotesa (dugaan sementara) yang akan terus menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk tercapai kebenaran sejati.
Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya khususnya dalam bidang ilmu alam, dimana pada masanya kemapanan fisika Newton akhirnya dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan demikian ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan secara sadar diakui bahwa hal ini berawal dari pengetahuan terdalam manusia yang menjelma menjadi suatu hipotesa, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang masa sehingga memunculkan hipotesa baru yang nantinya juga terbuka untuk terus dikritisi.
Pandangan ini menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif untuk mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin sebuah teori dapat bertahan dari penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kokoh dalam keilmuan, ini juga disebut Popper sebagai teori pengokohan (theory of corroboration) . Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper sehingga dipandang sebagai Filsuf, Empirisis modern sekaligus Epitemolog Rasionalisme-Kritis.

D.    Demarkasi antara Ilmu Sejati (True Science) dan Ilmu Semu (Pseudo Scince)
Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode-metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Di satu pihak ia bereaksi terhadap metode induksi yang 'mempatenkan' dirinya sebagai metode ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar oleh para filsuf di lingkaran Wina.
Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat fokus bahasan dalam membedakan/memisahkan antara pernyataan yang mengandung makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta .
Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan.  Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa ungkapan yang tidak bersifat ilmiah – tidak dapat dibukitkan dengan observasi dan eksprimen – memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak munculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam maupun sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan eksprimen terhadapnya.
Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight individual bukan berasal dari pengamatan partikular (observasi) yang kemudian berujung kepada proses generalisasi – induksi. Sebagai contoh, kemampuan manusia untuk membangun peradaban dan teknologi banyak lahir dari kemampuan atau ilham yang tidak diperoleh dengan metode induksi, akan tetapi muncul dalam tataran umum terlebih dahulu kemudian menjelma secara lebih nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebih menyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan metode dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dengan diketengahkannya metode deduksi maka membuka kembali makna ilmiah terhadap kajian-kajian yang selama ini disingkirkan oleh metode induksi-verifikasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadirkan kembali dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta merta seorang peneliti menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah atau pun ilmiah hanya dengan berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan sejatinya segala sesuatu memiliki arti karena ia dapat dipahami.
Lebih mendasar, Popper mengungkapkan kelemahan dalam metode induksi dan verifikasi, antara lain:
1.    Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena, seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna.
2.    Berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites.
3.    Untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus bisa dimengerti. Sehingga bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori? 
Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiah. Verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dari satu teori sehingga mengkaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandungnya, sebagai contoh tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu teori dengan mengedepankan contoh-contoh yang mendukung kebenaran teori tersebut (proses ini berlangsung dengan metode induksi-generalisasi terhadap particular yang ada). Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dari sebuah teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.
Sikap seperti ini merupakan karakter dari verifikasi-induktif, di satu sisi yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi sederhana, seorang peneliti menyampaikan hasil penelitiannya bahwa seluruh angsa berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.
Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori.


PENUTUP


Kesimpulan
Karl Raimund Popper merupakan seorang filosof sains keturunan Inggris-Austria. Dilahirkan pada Juli 1902. Merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Simon Sigmund Carl Popper dan Jenny Schiff.
Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, pemikiran Popper dikelompokkan menjadi tiga tema, yakni persoalan induksi dan verifikasi, persoalan demarkasi dan persoalan dunia ke tiga. Popper memang tidak sependapat dengan keyakinan tradisional tentang induksi, yang menganggap bahwa teori apa saja akan dinilai benar bila cara penarikan kesimpulannya didasarkan pada metode induksi. Metode induksi berarti juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam. Padahal dalam kenyataannya tidak ada contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Popper juga mengkritik pandangan noe-positivisme (Vienna Circle) yang memberlakukan hukum umum sebagai teori ilmiah dengan metode verifikasinya. Seperti yang diketahui, mereka memperkenalkannya dengan sebutan apakah sesuatu itu meaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti). Juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science) atau ilmu semu (pseudo science). Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti ia tidak bermakna. Bagi dia, falsivikasi atau juga disebut falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat antara ilmu (true science) dengan yang bukan ilmu (pseudo scince).
.


Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996.
Berkson, Wiliam & Jhon Wettersten, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.
Bondowoso, Ulum. “Karl Popper”. http://ulumbondowoso.blogspot.com.
Kalkoy, Paul. "Karl R. Popper dan Falsifikasi". http://leonardoansis.wordpress. com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/ karl-r-popper-dan-falsifikasi.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2004.
O'Hear, Anthony (ed.). Karl Popper: Philosophy and Problems. Cambridge: Press Syndicate of The University of Cambridge, 1995.
Priyanto. “Falsificationism Karl Popper”. http://insancita.4t.com.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007.

silakan KLIK di sini untuk mendapatkan materi lainnya...

No comments:

Post a Comment