Saturday 28 April 2012







PENDAHULUAN
Sampai saat ini,sejarah perkembangan ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan. Kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayyul; dan dari ilmulah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup manusia.kesadaran yang terjasi dewasa ini tentang adanya masalah –masalah moral yang serius di dalam ilmu,mengenai kekerasan –kekerasan eksternal dan paksaan-paksaan pada pengembangannya,dan mengenai bahaya-bahaya dalam perubahan teknolagis yang tak terkendali,menantang para sejarahwan untuk melakukan penilaian  kembali secara kritis terhadap keyakinan awal yang sederhana ini.
Sejarawan segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam pendidikannya hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan, dan itu merupakan produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara. Gagasan itu meliputi kehadiran pusat-pusat penelitian di berbagai universitas yang hampir otonom; penerapan hasil-hasil ilmiah secara besar-besaran oleh para teknolog;dan kebebasan penelitian ilmiah dari politik dan agama. Di abad ke-19 terdapat tentang adanya perbedaaan-perbedaan kekaburan antara ilmu. 
      Tidak dapat di sangkal bahwa para pemikir pada zaman modern ini berbeda-beda keadaannya,bahwa juga penelitian filsafati mereka mengarah ke banyak jurusan, akan tetapi bagaimanapun semuanya itu masih juga mewujudkan suatu kesatuan, sebab semuanya itu telah membantu di bentuknya keadaan Barat.


PEMBAHASAN
A.KEBENARAN
       Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu  Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat.

B. EMPERISME
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani yaitu emperia yang berarti coba- coba atau pengalaman. Sebagai tokohnya adalah Francis Bacon , Thomas Hobbes, John Locker, dan David Hume. Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal itu terjadi karena filsafat dianggap tidak berguan lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain ilmu pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra ( empiri) dan empirilah satu- satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama Empirisme. Menjadikan orang merasa telah dapat mengetahui segala sesuatu secara menyeluruh dan sistematis.  Uraian tokohnya adalah sebagai berikut:
1.    Sir Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon, Viscount St Alban pertama (lahir 22 Januari 1561, wafat 9 April 1626) adalah seorang filsuf, negarawan dan penulis Inggris. Ia juga dikenal sebagai pendukung Revolusi Sains. Bahkan, menurut John Aubrey, dedikasinya menggabungkannya ke dalam sebuah kelompok ilmuwan yang bersejarah yang meninggal dunia akibat eksperimen mereka sendiri.
Francis Bacon dianugerahi gelar ksatria (Sir) pada tahun 1603, diangkat menjadi Baron Verulam di tahun 1618, dan menjadi Viscount St. Alban di tahun 1621. Tanpa keturunan, kedua gelar kebangsawanan tersebut hilang pada saat kematiannya. Ia menerima julukan sebagai pencipta esai Inggris.
Meskipun bukan seorang ilmuwan praktis, Bacon dianggap sebagai "bapak ilmu pengetahuan modern" oleh banyak sejarawan. Filsafat dan tulisannya sangat berpengaruh dalam mengobarkan revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-17. Banyak kaum cendekiawan seperti Robert Boyle dan Isaac Newton menerima "filsafat baru" Bacon yang menekankan empirisme (teori yang menyatakan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan pengalaman langsung) dan induksi. Setelah menampik ketergantungannya pada pendapat para ahli [sebelumnya] seperti Aristoteles, ilmu pengetahuan baru semakin merebak ke permukaan dan memunculkan banyak sekali penemuan baru yang terus bertambah hingga kini. Namun "filsafat baru" ini sama sekali bukan hal yang baru; karena hal ini sudah ada dalam Alkitab. Sang "bapak ilmu pengetahuan modern" ini adalah seorang Kristen yang percaya kepada Alkitab dan yang menjadikan doktrin Kristen sebagai dasar pemikirannya.
John Henry, profesor ilmu sejarah dari Universitas Edinburg menulis biografi Bacon yang berjudul "Knowledge is Power: How Magic, the Government and an Apocalyptic Vision Inspired Francis Bacon to Create Modern Science." (2002) Henry menyatakan bahwa Sir Francis Bacon "menemukan ilmu pengetahuan modern" karena terinspirasi oleh ketiga hal ini: "magis" (baca: iman Kristen), "penguasa" (baca: pengetahuan untuk kebaikan manusia), dan "visi apokaliptik" (artinya, kepercayaan harfiah akan nubuatan Daniel dalam Daniel 12:4, "Banyak orang akan menyelidikinya, dan pengetahuan akan bertambah"). Buku ini memperjelas hubungan Bacon dan Alkitab.
Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang.
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. 
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.
     2. John Locke (1632-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke :
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi atau yang kita kenal dengan istilah Tabula Rasa.
Tabula Rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.
Gagasan mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John Locke di abad 17. Dalam filosofi Locke, tabula rasa adalah teori bahwa pikiran (manusia) ketika lahir berupa "kertas kosong" tanpa aturan untuk memroses data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memrosesnya dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya. Pendapat ini merupakan inti dari empirisme Lockean. Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu "kosong" saat lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya - namun identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa ditukar. Dari asumsi tentang jiwa yang bebas dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan kodrat manusia inilah lahir doktrin Lockean tentang apa yang disebut alami.
Menurut Locke, pikiran bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan. 
Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.
3. David Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan, rangkaian pemikiran tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut:
Beberapa Jenis Empirisme:
1. Empirio-kritisisme
a)    Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral
b)    Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika.
c)    Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
2. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut :
Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.   
 3. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untukkeraguan. Dalam situasi semacam iti, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.

KESIMPULAN

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Empirisme adalah aliran ilmu pengetahuan dan filsafat yang berdasarkan metode empiris, yaitu bahwa semua pengetahuan didapat dengan pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, dan dijadikan sebagai sumber pengetahuan karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji melalui pengalaman, dengan demikian kebenaran yang diperoleh bersifat aposteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience).
Filsuf empirisme David Hume (1711-1776), melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan merupakan penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas kesan-kesan. Menurutnya, kesan selalu muncul lebih dahulu, sementara ide sebagai pengalaman langsung tidak dapat diragukan. Dengan kata lain, karena ide merupakan ingatan atas kesan-kesan, maka isi pikiran manusia tergantung kepada aktivitas inderanya. Hume seperti layaknya filsuf Empirisme lainnya menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”.
Tokoh-tokoh empirisme lainnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), dan Thomas Hobbes (1588-1679). Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen. Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik, karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain


DAFTAR PUSTAKA

Jerome R.Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah Dan Ruang lingkup Bahasan (Pustaka Pelajar Celeban Timur UH Yogyakarta, 2009 )
 
Dr.Harun Hadiwijono Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Kanisius Yogyakarta 1980 )

 http://id.wikipedia.org/wiki/Francis_Bacon, dikutip pada hari Sabtu, 29Oktober 2011 pukul 15.10 wib

 http://biokristi.sabda.org/sir_francis_bacon, dikutip pada hari sabtu, 29 Oktober 2011 pukul 01.20 wib

http://id.wikipedia.org/wiki/Tabula_rasa, dikitup pada hari sabtu,29 Oktober 2011 pukul 14.40 wib

 Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003)

 http://masdiloreng.wordpress.com/2009/03/22/empiriseme, dikutip pada hari sabtu, 29 Oktober 2011 pukul 01.10 wib

silakan KLIK di sini untuk mendapatkan materi lainnya... (tunggu 5 detik kemudian klik Lewati/Skip)

DEDUKTIF



A. LATAR BELAKANG
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Menurut Jujun Suriasumantri, Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berfikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Jadi, Penalaran adalah proses berfikir yang bertolak dari pengamatan indera yang menghasikan sejumlah konsep dan pengertian. Di sini kami akan membahas mengenai penalaran deduktif.
Deduksi merupakan suatu proses berpikir (penalaran) yang bertolak dari suatu proposisi yang telah ada menuju kepada proposisi baru yang akan membentuk kesimpulan. Dalam induksi, untuk menarik kesimpulan, maka penulis harus mengumpulkan bahan – bahan atau fakta – fakta terlebih dahulu. Sementara dalam penulisan deduktif penulis tidak perlu mengumpulkan fakta – fakta itu, karena yang diperlukan penulis hanyalah suatu proposisi umum dan proposisi yang bersifat mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang berhubungan dengan proposisi umum tadi. Bila identifikasi yang dilakukan benar dan proposisinya benar,maka dapat diharapkan bahwa kesimpulannya pun akan benar.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Deduktif.
2. Macam-macam Deduktif.
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN DEDUKTIF
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induksi .
Sedangkan menurut Jujun Suria Sumantri, Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
“Deductive reasoning is a method of drawing conclusions from facts that we accept as true by using logic ” . Artinya, penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika. Suatu hal yang sudah jelas benar pun harus ditunjukkan atau dibuktikan kebenarannya dengan langkah- langkah yang benar secara deduktif.
Deductive reasoning is one of the two basic forms of valid reasoning. While inductive reasoning argues from the particular to the general, deductive reasoning argues from the general to a specific instance. The basic idea is that if something is true of a class of things in general, this truth applies to all legitimate members of that class. The key, then, is to be able to properly identify members of the class. Miscategorizing will result in invalid conclusions.
Examples of deductive reasoning may be both subtle and time-saving. For example, Be careful of that wasp: it might sting. is based on the logic that wasps as a class have stingers; therefore each individual wasp will have a stinger. This conclusion is freeing in that we do not have to examine each and every wasp we ever encounter to ascertain what characteristics it may have. Because of the validity of deductive reasoning, we may make an assumption that is both useful and efficient.
Yang maksudnya penalaran deduktif adalah salah satu dari dua bentuk dasar penalaran yang valid. Suatu penlaran deduktif dari yang umum ke contoh spesifik. Ide dasarnya adalah bahwa jika sesuatu itu benar dari sekumpulan hal secara umum, kebenaran ini berlaku untuk semua anggota yang sah dari sekumpulan  itu. Kuncinya, kemudian, adalah untuk dapat benar mengidentifikasi anggota sekumpulan tersebut.
A deductive argument is an argument in which it is thought that the premises provide a guarantee of the truth of the conclusion. In a deductive argument, the premises are intended to provide support for the conclusion that is so strong that, if the premises are true, it would be impossible for the conclusion to be false.  Artinya : sebuah argumen di mana ia berpikir bahwa tempat memberikan jaminan kebenaran kesimpulan. Dalam argumen deduktif, tempat dimaksudkan untuk memberikan dukungan untuk kesimpulan yang begitu kuat sehingga, jika premis-premis yang benar, mustahil untuk kesimpulan palsu.
Jadi dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran deduktik merupakan suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang karenanya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori atau putusan lain yang berlaku umum untuk suatu hal ataupun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus yang merupakan bagian dari hal atau gejala diatas. Dengan kata lain, penalaran deduktif bergerakk dari sesuatu yang umum kepada yang khusus

B.    MACAM MACAM PENALARAN DEDUKTIF
SILOGISME.
Silogisme adalah suatu pengambilan kesimpulan, dari dua macam keputusan (yang mengandung unsure yang sama, dan salah satunya harus universal) suatu keputusan yang ketiga, yang kebenarannya sama dengan dua keputusan yang mendahuluinya.
      Contoh :
P1 : semua manusia pasti akan meninggal
P2 : Budi adalah manusia
K : Budi pasti meninggal

a.    MACAM-MACAM SILOGISME
Penyimpulan deduksi yang telah kita ketahui sekedarnya dapat kita laksanakan melalui teknik-teknik, silogisme kategori baik melalui bentuk standardnya maupun bukan, silogisme merupakan bentuk penyimpulan tidak langsung dikatakan demikian karena dalam silogisme kita menyimpulkan pengetahuan baru yang kebenarannya di ambil secara sintetis dari dua permasalahan yang dihubungkan dengan cara tertentu.  Berikut adalah macam-macam Silogisme yang terdapat dalam penalaran deduktif yaitu :

1). SILOGISME KATEGORIK
Merupakan silogisme yang semua posisinya merupakan proposisi kategorik, demi sebuah kesimpulan maka pangkal umum tempat kita berpijak harus merupakan proposisi universal, sedangkan pangkalan khusus tidak berarti bahwa proposisinya harus partikuler atau sinjuler , tetapi juga proporsisi universal tetapi ia diletakan dibawah aturan pangkalan umumnya.
Silogisme adalah suatu bentuk penalaran yang berusaha menghubungkan dua proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan proposisi yang ketiga. Kedua proposisi yang pertama disebut dengan premis.
Silogisme kategorik dibatasi sebagai suatu argument deduktif yang mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari tiga (dan hanya tiga) proposisi kategorial, yang disusun menjadi tiga term yang muncul dalam rangkaian pernyataan itu, dan tiap term hanya boleh muncul dalam dua pernyataan.
Silogisme kategorik bisa disebut juga silogisme yang terjadi dari tiga proposisi.
Contoh :
(1)   Semua karyawan adalah PNS.
(2)   Semua PNS adalah peserta Jamsostek.
(3)   Jadi, semua karyawan adalah peserta Jamsostek.
Dalam rangkaian diatas terdapat tiga proposisi: (1) + (2) + (3). Dalam contoh ini rangkaian kategorial hanya terdapat dalam tiga term, dan tiap term muncul dalam dua proposisi. Term preidkat dari konklusi adalah term mayor dari seluruh silogisme itu. Sedangkan subyek dari konklusinya disebut term minor dari silogisme. Sementara term yang muncul dalam kedua premis namun tidak muncul dalam kesimpulan disebut premis tengah.
 Proposisi Silogisme
Dalam seluruh silogisme hanya terdapat 3 term, yaitu term mayor, term minor dan term tengah, dan dalam silogisme hanya terdapat tiga proposisi, yaitu dua proposisi yang disebut premis dan sebuah proposisi yang disebut konklusi.
(1)   Premis Mayor
Premis yang mengandung term mayor dari silogisme itu. Premis mayor adalah proposisi yang dianggap bennar bagi semua anggota kelas tertentu. Dalam contoh sebelumnya yaitu ‘semua karyawan adalah PNS’.
(2)   Premis Minor
Premis yang mengandung term minor dari silogisme itu. Premis mnor adalah prposisi yang mengidentifikasi sebuah peristiwa (fenomena) yang khusus sebagai anggota dari kelas tadi. Dalam contoh adalah ‘semua PNS adalah peserta Jamsostek’
(3)   Kesimpulan
Proposisi yang mengatakan bahwa apa yang benar tentang seluruh kelas juga akan benar atau berlaku bagi anggota tertentu. Dalam hal ini, jika benar semua karyawan adalah PNS, maka semua karyawan yang adalah peserta jamsostek juga harus merupakann PNS.
Dalam silogisme diatas peserta jamsostek merupakan term tengah karena bertindak sebagai penghubung antara term mayor dan term minor.
Menguji kesahihan dan kebenarannya
Untuk menilai silogisme harus dibedakan terlebih dahulu dua pengertian yang sering dikacaukan yaitu kesahihan (validitas;keabsahan)  dssn kebenaran (truth). Validitas dari suatu silogisme semuanya tergantung dari bentuk logisnya, sedangkan semua kebenaran tergantung dari fakta-fakta yang mendukug seua pernyataan. Bentuk logis sebuah silogisme ditentukan oleh:
(1)   bentuk logis dari pernyataan-pernyataan kategorial alam silogisme.
(2)   Cara penyusunan term dalam masing-masing pernyataan.
Bentuk sebuah silogisme adalah fungsi dari modul dan figure dari silogisme tadi. Contoh :
Premis mayor : manusia adalah makhluk berakal budi.
Premis minor  : Alibaba adalah seorang manusia
Kesimpulan    : sebab itu, Alibaba adalah mkhluk berakal budi.
Dalam contoh diatas, figure silogismenya adalah: manusia – makhluk berakal budi, alibaba – manusia, dan alibaba – makhluk berakal budi.  Atau dengan symbol S – P, O – S, O – P. Jadi menyatakan silogisme sama dengan menyebutkan figure dan modusnya.
Premis mayor dapat dibentuk proposisi A, E, I atau O. Demikian pula premis minornya. Berarti dari kedua premis ini dapat diperoleh 4 x 4 kombinasi atau 16 kombinasi. Selanjutnya dari 16 konbinasi ini dapat diturunkan untuk setiap masing – masing kombinasi atau konklusi yang bias berbentuk proposisi A, E, I, atau O. Dengan demikian akan dihasilkan modus sebanyak 64 modus. Karena setiap modus memiliki kemungkinan 4 figur bentuk silogistis maka dihasilkan 256 bentuk silogistis yang belunm tentu valid dan memerlukan pengujian terlebih dahulu.

2). SILOGISME HIPOTESIS
Adalah argument yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik yang menetapkan atau mengingkari terem antecindent atau terem konsecwen premis mayornya.
Silogisme hipotesis yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi conditional hipotesis.
Bisa juga dikatakan  semacam pola penalaran deduktif yang mengandung hipotesa. Silogisme hipotesis bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi. Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotesis. Oleh sebab itu rumus proposisi mayor silogisme ini adalah:
Jika P, maka Q
 Contoh 1:
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kencan.
Premis Minor   : Hujan turun
Konklusi          : Sebab itu Jazira tidak akan pergi kencan

Atau
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, maka Jazira akan pergi kencan.
Premis Minor   : Hujan tidak turun
Konklusi          : Sebab itu Jazira akan pergi kencan
Walaupun premis mayor bersifat hipotesis, premis minor dan konklusinya tetap bersifat kategorial. Premis mayor sebenarnya mengandung dua pernyataan kategorial, yang dalam contoh hujan tidak turun, dan Jazira akan pergi kencan. Bagian pertamanya disebut anteseden, sedangkan bagian keduanya disebut akibat.
Dalam silogisme hipotesis berasusmsi bahwa ‘kebenaran anteseden akan mempengaruhi kebenaran akibat; kesalahan anteseden akan mengakibatkan kesalahan pada akibatnya’

3).  SILOGISME ALTERNATIF
Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternative. Proposisi alternative yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Kesimpulannya menolak alternative yang lain.
Jenis silogisme alternative biasa juga disebut dengan silogisme disjungtif, karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi alternative, yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan-kemungkinan atau pilihan. Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi silogisme ini tergantung pada premis minornya, jika premis minornya menerima satu alternative maka alternative lainnya akan ditolak; dan jika premis minornya menolak satu alternative maka alternatik lainnya akan diterima dalam konklusi.
Contoh :
Premis Mayor : Zian ada di sekolah atau di rumah.
Premis Minor   : Zian ada di sekolah
Konklusi          : Sebab itu, Zian tidak ada dirumah
Secara praktis kita juga sering bertindak seperti itu. Untuk menetapkan sesuatu atau menemukan sesuatu secara sistematis kita bertindak sesuai dengan pola silogisme alternative diatas.

4).  ENTIMEM
Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan simpulan.
Menyatakan pikiran tampaknya bersifat artificial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan,proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran dan dianggap diketahui pula oleh orang lain. Bentuk semacam ini dinamakan entimem (dari enthymeme>enthymema,yunani. Kata itu berasal dari kata kerja enthymeisthai yang berarti ‘simpan dalam ingatan’). Entimen adalah penalaran deduksi secara langsung.
Misalnya sebuah silogisme asli akan dinyatakan oleh seoarang pengasuh ruangan olahraga dalam sebuah harian sebagai berikut:
Premis mayor  : Siapa saja yang dipilih mengikuti pertandingan Thomas Cup adalah seorang pemain kawakan.
Premis minor   : Rudy Hartono terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup
Konklusi          : Sebab itu Rudy Hartono adalah seorang pemain (bulu tangkis) kawakan.
Bila pengasuh ruangan olahraga menulis seperti diatas dan semua gaya tulisan sehari-hari mengikuti corak tersebut, maka akan dirasakan bahwa tulisannya terlalu kaku. Sebab itu ia akan mengambil bentuk lain, yaitu entimem. Bentuk itu akan berbunyi,”Rudi Hartono adalah seorang pemain bulu tangkis kawakan, karena terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup.”
Contoh lain:
Silogisme
PU: Binatang mamalia melahirkan anak dan tidak bertelur.
PK: Ikan paus binatang binatang mamalia.
K : Ikan paus melahirkan anak dan tidak bertelur.
Entimen
Ikan paus melahirkan anak dan tidak bertelur karena termasuk binatang mamalia.
Contoh entimem :
Premis mayor  : Semua orang yang membuat banyak penelitian adalah sarjana besar.
Premis minor   : Prof. Hasan membuat banyak penelitian.
Konklusi          : Sebab itu, Prof.Hasan adalah seorang sarjana besar.
Premis mayor : Semua sarjana yang besar membuat banyak penelitian.
Premis minor   : Prof. Hasan adalah seorang sarjana besar.
Konklusi          : Sebab itu, Prof. Hasan membuat banyak penelitian .
Dengan mengembalikan entimem 1 dan 2 kebentuk silogismenya tampak bahwa proposisi yang dihilangkan itu adalah proposisi mayor. Dengan demikian proposisi minor dan konklusinya langsung dikaitkan dalam sebauh kalimat.
Penghilangan sebuah proposisi kadang-kadang dilakukan dengan sengaja, karena penulis atau pembicara mengetahui bahwa bila kita menilai dengan cermat premis-premis yang ada,kita akan menolak pendapatnya. Sebab itu pada waktu menghadapi sebuah entimem diragukan kebenarannya, maka salah satu premisnya juga duragukan kebenaranya. Kalu entimem ditolak,maka salah satu proposisinya ditolak kebenarannya.
 
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam pembuatan proposisi argumentasi maka digunakan teknik – teknik penalaran dan pengujian data yang ada. Dari dua system yang telah dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bila kita membandingkan penalaran dalam induksi dan penalaran dalam deduksi, maka kesimpulan dari induksi mempunyai kemungkinan kebenaran, dan benar tidaknya proposisi itu tergantung pada kebenaran dari data yang dipergunakan.
Dalam pembuatan proposisi dengan cara deduktif penulis tidak perlu mengumpulkan fakta-fakta yang ada, penulis hanya perlu suatu proposisi umum atau proposisi yang mampu mengidentifikasi suatu peristiwa khusus secara berkaitan dengan proposisi umum tadi. Deduktif disini mengambil silogisme yang terdiri dai silogisme Kategorik Hipotesis, Alternatif, dan  Entimem.

DAFTAR PUSTAKA
http://arifsubarkah.wordpress.com/macam-macam-silogisme/( diakses tanggal 15 Oktober 2011)
http://www.scribd.com/doc/25095005/Contoh-Paragraf-Deduktif-Induktif
( diakses tanggal 15 Oktober 2011)
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori ( diakses tanggal 15 Oktober 2011)
http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran#Metode_deduktif ( diakses tanggal 15 Oktober 2011)
http://hadirukiyah2.blogspot.com/silogisme-pengertian-bagian-bagian-dan.html( diakses tanggal 15 Oktober 2011)
http://www.wisegeek.com/what-is-deductive-reasoning.htm.. (diakses 12 Oktober 2011)
http://www.iep.utm.edu/ded-ind/ ( diakses tanggal 15 Oktober 2011)
W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka 2006
Jujun.S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu. Surabaya :Pustaka Sinar Harapan. 2005
Pustaka web site. www.id.wikipedia.com  (diakses pada tanggal  12 Oktober 2011)
Jacobs, H.R. Mathematics, A Human Endeavor (2nd Ed). San Fransisco: W.H. Freeman and Company. 1982
http://nopi-dayat.blogspot.compenalaran-deduktif.html (diakses pada tanggal  12 Oktober 2011)
Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi.. Jakarta: Gramedia1992
Jujun.S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu.  Surabaya :Pustaka Sinar Harapan. 2005




RASIONALISME





A.    Latar Belakang
     Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.
      Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan 1.

B.    Rumusan Masalah
      Berdasarkan uraian singkat di atas, berikut ini beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam karya tulis ini:
1.    Pengertian Rasionalisme
2.    Pembagian Rasionalisme
3.    Tokoh – Tokoh Rasionalisme


PEMBAHASAN
1.    Pengertian Rasionalisme
      Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan  diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Orang mengatakan (biasanya) bapak aliran ini ialah Rene Descartes (1596-1650); ini benar. Akan tetapi, sesungguhnya paham seperti ini sudah ada jauh sebelum itu. Orang-orang yunani kuno telah menyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar lebih-lebih  Aristoteles  2.
      Rasionalisme adalah paham filsafat  yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan3. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mangajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika 4.
    Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai untuk semua pengetahuan ilmiah 5.
     Kalau dalam empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra.  Akal tidak berfungsi banyak, kalau ada, itu pun sebatas idea yang kabur. Lain halnya dengan rasionalisme, bahwasannya rasionalisme berpendirian sumber pengetahuan terletak pada akal. Betul, hal ini akal berhajat pada bantuan panca indera untuk memperoleh data dari alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainnya, sehingga terdapatlah apa yang dinamakan pengetahuan 6. Dalam penyusunan ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkrit, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui 7.
      Maka dari itu Aliran ini merupakan bantahan kuat atas aliran empirisme, yang menekankan pencerahan indrawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pada hakikatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri tidak dapat memberikan kepada kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar secara universal. Pengetahuan yang paling tinggi terdiri atas pertimbangan-pertimbangan yang benar, yang bersifat konsisten satu dengan lainnya. Rasa (sense) dan pengalaman yang kita peroleh dari indera penglihatan, pendengaran, suara, sentuhan, rasa dan bau hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan. Rasa tadi harus disusun oleh akal sehingga menjadi sistem, sebelum menjadi pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pengetahuan hanya terdapat dalam konsep, prinsip dan hukum, dan tidak dalam rasa 8.
Dalam bentuknya yang kurang ekstrim, rasionalisme berpendirian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mengetahui dengan pasti tentang beberapa hal yang mengenai alam. Sebagai contoh; jika A lebih besar daripada B, dan B lebih besar dari pada C, maka A lebih besar dari pada C. Kita mengetahui bahwa hal itu adalah benar tanpa melihat kepada contoh-contoh yang konkrit. Kita mengetahui bahwa kaidah tersebut dapat dipakai untuk peta-peta, kota-kota, bangsa-bangsa, walaupun kita tidak mengalaminya atau mencobanya. Diantara kebenaran-kebenaran yang pasti (necessary truth), yakni kebenaran yang tidak bersandar pada pengamatan, baik untuk mengetahuinya atau untuk mengkaji kebenarannya adalah ; 5+5=10. tiga sudut dalam segitiga adalah sama besarnya dengan dua sudut lurus 9.
Plato memberikan gambaran klasik dari rasionalisme. Dalam sebuah dialog yang disebut Meno, dia berdalil, bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Tetapi, jika dia belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenalinya? Plato menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apakah sesuatu pernyataan itu benar kecuali kalau dia sebelumnya sudah tahu bahwa itu benar. Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak mempelajari apapun; ia hanya “teringat apa yang dia ketahui”. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam pikiran 10.

2.    Pembagian Rasionalisme
     Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan dari otoritas; dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme 11.
Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika 12.
Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal. Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (socrates, plato, aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu 13. 

3. Tokoh – Tokoh Rasionalisme
       Tokoh – tokoh dalam rasionalisme ada 6 orang menurut sebuah sumber, namun dalam makalah ini tidak dibahas seluruhnya secara rinci.
1.    Rene Descartes (1596 -1650)
2.    Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3.    B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4.    G.W.Leibniz (1946-1716)
5.    Christian Wolff (1679 -1754)
6.    Blaise Pascal (1623 -1662 M) 14
1.    Rene Descartes (1596-1650)
      Descartes lebih diperhatikan karena ada keistimewaan padanya; yaitu keberaniannya melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof abad pertengahan. Descartes dianggap sebagai bapak Filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir abad pertengahan itu yang menyusun argumentasi yang kuat, yang Distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya15.
     Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam itu, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat tokoh gereja. Apakah ada filosof yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman abad pertengahan itu? Ada, Tokoh itu adalah Decartes.
     Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban itu. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semangat filsafat yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali rasionalisme yunani 15.
     Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan ghaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata,”aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi keluar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi.” Tidak ada batas yang tegas antara mimpi (sedang mimpi ) dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita katakan sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud oleh Descartes 16.
     Benda-benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada pertanyaan: yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-sungguh asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh halus itu, bila dilihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu sungguh-sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kuta melihat dan mengalami benda-benda itu; dalam mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi: adakah benda yang tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode cogito.
      Pada langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat diindera. Apa sekarang yang dapat dipercaya, yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada sesuatu yang muncul, baik dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu muncul itu ialah gerak, jumlah, dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada 17.
     Betulkah yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Descartes mengujinya. Kemudian ia pun meragukanya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah menjumlah (angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti dari pada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti diragukan. Kalu begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct.
      Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode  cogito. Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya, atau  hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang ragu” benar-benar tidak dapat diragukan adanya 18.
        Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Sekarang Descartes telah menemukan basic dari filsafatnya, namun bukan filsafat Plato, bukan filsafat abad pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi itu ialah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Di sini kelihatanlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes 19. Sifat-sifat inilah yang nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada abad modern.

2.    Spinoza (1632-1677)
      Metafisika modern biasanya dikatakan dimulai oleh Descartes (1596-1650). Metodenya untuk sampai kepada kepastian sempurna lewat deduksi metematis, sah untuk diterima. Akan tetapi, halnya tidak sesederhana itu. Metafisika mempunyai jalur yang panjang sejak yunani, melintasi abad pertengahan, barulah kepada Descartes. Oleh karena itu, kita tidak usah heran menemukan bahwa konsep sentral dalam metafisika Descartes adalah substansi dan definisi, yang sesungguhnya sudah ada pada Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles, ia pun berpendapat bahwa sesuatu untuk ada tidak memerlukan yang lain (bila adanya karena yang lain, berarti substansinya kurang meyakinkan) 20.

3.    Leibniz (1646-1716)
     Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan. Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah “prinsip akal yang mencukupi”, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyain alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat bahwa prinsip ini menuntun filsafat Leibniz.
      Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Maka karya Leibniz tentang ini diberi judul monadology(studi tentang monad) yang ditulisnya 1714 21.

Kesimpulan
      Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan  diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Beberapa tokoh rasionalisme dan perbedaan pendapat mereka yang diangkat dalam dalam karya ini adalah : Rene Descartes, Leibniz dan Spinoza.


DAFTAR PUSTAKA
http://intl.feedfury.com/content/16333544-filsafat-rasionalisme.html diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB 
http://kuwatpamuji.blogspot.com/2009/01/rasionalisme.html diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB 
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/rasionalisme/ diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB
http://www.scribd.com/doc/57206285/penerapan-teologi-rasional-dalam-belajar-dan-mengembangkan-ilmu diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB

FOOTNOTE  :
(1)    http://intl.feedfury.com/content/16333544-filsafat-rasionalisme.html diakses pada tanggal 22 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB
(2)    Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 25
(3)    Ibid, hal. 127
(4)    Ibid
(5)    Drs. Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005) hal. 66
(6)    Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama, Jakarta, logos wacana ilmu, cet. II, 1999, hal. 45
(7)    Ibid
(8)    Djaelani, Abdul Qodir, Sekitar Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Media Da’wah, 1994) hal. 13-14
(9)    Ibid, hal. 14
(10)    Suriasumantri, Jujun S., Ilmu Dalam Prespektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) hal. 99
(11)    Ibid, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, hal. 127
(12)    Ibid
(13)    Ibid, hal. 128
(14)    http://intl.feedfury.com/content/16333544-filsafat-rasionalisme.html diakses pada tanggal 22 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB
(15)    Ibid, hal. 130
(16)    Ibid, hal. 131
(17)    Ibid, hal. 132
(18)    Ibid, hal. 133
(19)    Ibid, hal. 134
(20)    Dr. Ismail Asy-Syarafa, ensiklopedia filsafat, jakarta: Khalifa, cet. I, 2005, hal. 167
(21)    Ibid, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, hal. 139

KOHERENSI, KORESPONDENSI,
DAN PRAGMATISME


    Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara yang ditempuh untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan pinsip-prinsip penalaran rasional.
Dengan menalar manusia berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan untuk mendapatkan kepastian dalam hidup, Manusia harus mendapatkan kepastian dalam memilih.
    Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa lepas dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri, sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Disamping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui  metode ilmiah. Kriteria ilmiah dari suatu ilmu mamang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang ada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya.
Penegasan diatas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran,pertama;  pada dimensi fenomenalnya bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk..Kedua; pada dimensi struktural, bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen,obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau di pertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu,sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem.Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia.Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.
    Tentang kebenaran plato pernah berkata “Apakah kebenaran itu? Lalu pada waktu yang tak bersamaan Bradley menjawab,”Kebenaran itu adalah kenyataan”,tetapi bukanlah kenyataan itu tidak selalu yang seharusnya terjadi.Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).Dari pengartian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kebenaran itu ada dua pengertian, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi dan kebenaran dalam arti ketidakbenaran (keburukan).
Dalam bahasan ini makna” kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “Kebenaran ilmiah”. Salah satu uji cobanya adalah apa yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu yang didasarkan pada teori  koherensi  ( konsistensi ), korespodensi ( ketersesuain ), dan teori pragmatisme ( praktis/fungsional ).

PEMBAHASAN

A.KEBENARAN
    Kebenaran tentu merupakan sifat yang dimiliki oleh ide kita. Apapun yang kita ketahui selalu berupa ide-ide dan tidak pernah berupa sesuatu sebagaimana yang terdapat dalam dirinya sendiri yang bersifat lahiriah, yang hipotesa. Karena pemikiranlah yang menentukan ketertiban, tatanan serta sistem di dalam kenyataan yang kita hadapi, dan pemikiran membuahkan ide-ide, dan ide-ide kebenaran terletak dalam keadaan saling berhubungan diantara ide-ide tersebut.
    Apakah yang dimaksud oleh penganut idealisme dengan keadaan saling berhubungan itu? Bradley mengemukakan dua ciri pokok. Pertama adanya keharusan bahwa semua fakta terangkum ide-ide tidak mungkin saling berhubungan, jika ide-ide itu hanya mrupakan bagian-bagian dari kebenaran seluruhnya, misalnya jika kita mengetahui bahwa tanah basah dan juga mengetahui bahwa langit berawan maka kedua ide tersebut belum cukup menunjukkan adanya keadaan saling berhubungan. Untuk menetapkan bahwa hujan turun kedua keadaan tersebut mungkin ada,  namun bisa saja hujan tetap tidak turun. Ini menggambarkan bahwa agar ada kebenaran perlu ada sesuatu sistem yang bersifat mencakup yang didalamnya ide-ide saling berhubungan. Kedua ide-ide tersebut harus teratur secara laras dan tidak mengandung kontradiksi ide tentang keterbatasan dari kontradikai sudah diterangkan diatas memakai sistem ilmu ukur, penertian tentang ketertiban yang laras dapat digambarkan secara paling baik. Kenyataan dan karenanya kebenaran oleh para penganut idealisme digambarkan sebagai sistem kebenaran yang teratur, yang logis, yang didalamnya tidak terdapat kontradiksi.
    Contoh yang baik tentang bagaimana cara menerapkan paham koherensi terdapat didalam perkenalan dengan teori relatifitas instink ide bahwa semua gerakan semata-mata bersifat nisbi serta ditinggalkannya penertian-pengertian tentang ruang dan waktu yang mutlak, ternyata saling berhubungan dengan ide-ide lain secara jauh lebih baik dari pada penertian-pengertian yang lama. Ini menyebabkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan kumpulan yang bersifat laras dari lapangan-lapangan yang bertautan serta berhubungan, dan ditinjau secara matematis bersifat logis sederhana.
    Ptoposisi-proposisi dalam keadaan saling beerhubungan namun sesat. Agaknya orang menaruh sesuatu keberatan yang utama terhadap paham koherensi. Apakah tidak mungkin terdapat kumpulan proposisi-proposisi yang dalam keadaan saling berhubungan, yang semuanya sesat? Tentunya orang membayangkan buku-buku seperti Alice in wonder lain serta cerita-cerita detektif yang baik penulisannya, yang ceritanya telah direncanakan secara hati-hati, sehingga didalamnya segala-galanya saling berhubungan. Selama orang berpegangan pada anggapan-anggapan yang dimuat dalam buku itu, maka tidak ada yang sesat atau tidak benar. Selain itu, suatu segi yang tidak kurang pentingnya, pendirian yang baik didalam ilmu pengetahuan ialah bahwa ilmu penetahuan harus mampu mengadakan peramalan. Bagaimanakah peramalan dapat diterangkan atas dasar koherensi? Atau lebih baik, “Bagaimanakah suatu peramalan dapat diferifikasi? Karena, jika sistemnya sudah dalam keadaan saling berhubungan, maka tidak akan ada ide yang disimpulkan dari sistem tersebut yang tidak cocok dengan sistem tadi. Peramalan meliputi penjabaran sebuah proposisi mengenai peristiwa-peristiwa yang tidak dilukiskan dalam sistem tersebut dapat diamati, maka peramalan itu telah diverifikasi. Ini tidak berarti bahwa keadaan saling berhubungan itu kadang-kadang tidak merupakan ukuran yang sangat berharga tentang kebenaran. Sesungguhnya kita pasti akan menolak suatu gagasan yang bertentangan dalam dirinya sendiri, juga tentu akan menolak bahan-bahan bukti yang dalam keadaan tidak saling berhubungan diajukan oleh seseorang.

B. KOHERENSI
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsisten. Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu dapat diterima secara logis dan teori koherensi mamandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan yang lain sudah lebih dahulu diketahui,diterima dan diakui sebagai sesuatu yang benar. Dengan demikian suatu keputusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang sudah diketahui,diterima dan diakui kebenarannya.
    Suatu proposisi dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koherensi/konsisten dengan pernyatan sebelumnya yang dianggap benar.Faham koherensi menyatakan bahwa derajat keadaan saling berhubungan merupakan ukuran bagi kebenaran.Sedang keadaan saling berhubungan dengan semua kenyataan memberikan kebenaran mutlak.Teori koherensi adalah teori kebenaran sebagai keteguhan.
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila penyataan itu bersifat koheren atau konsisten,artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya,yaitu yang koheren menurut logika.Misalnya , “Semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar,sebab pernyataan tersebut adalah konsisten.
    Paham koherensi mengatakan, bahwa derajat keadaan saling berhubungan merupakan ukuran bagi derajat kebenaran, sedangkan keadaan saling berhubungan dengan semua menyataan memberikan kebenaran yang mutlak.

C. KORESPODENSI
Teori korespondensi [Correspondence Theory of Truth], yang kadang kala disebut The accordance Theory of Truth. Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya. Suatu proposisi atau pengertian adalah benar jika terdapat suatu fakta yang selaras dengan kenyataannya, atau jika ia menyatakan apa adanya.
Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang beralasan dengan realitas, yang serasi (corresponds) dengan situasi actual. Kebenaran ialah suatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (Judgment) dengan situasi seputar (Enviromental situation) yang diberinya intepretasi. Jika suatu putusan sesuai dengan fakta, maka dapat dikatakan benar ; Jika tidak maka dapat dikatakan salah.
Teori korespondensi ini sering dianut oleh realisme/empirisme. K. Rogers, adalah orang penganut realisme kritis Amerika, yang berpendapat bahwa : keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara "esensi atau arti yang kita berikan" dengan "esensi yang terdapat didalam obyeknya".
Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independence (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahami. Itulah sebabnya realisme epitemologis kadangkala disebut obyektivisme. Dengan perkataan lain: realisme epistemologis atau obyektivisme. Berpegang kepada kemandirian sebuah kenyataan tidak tergantung pada yang di luarnya. Selajunya kaum marxist mengenal dua macam kebenaran, yaitu kebenaran mutlak dan  kebenaran relatif
Kebenaran mutlak ialah kebenaran yang selengkapnya obyektif, yaitu suatu pencerminan dari realitas secara pasti mutlak. Kebenaran relatif adalah pengetahuan mengenai relaitas yang kesesuaianya tidak lengkap, tidak sempurna.
    Bagi orang kebanyakan sebuah pernyataan itu benar jika yang diungkapkannya merupakan fakta, bila ada pernyatan “ Di luar hawanya dngin”, maka hal itu benar jika di luar sungguh-sungguh benar hawanya dingin atau jika keadaan dingin di luar itu merupakan fakta.Orang mungkin mengatakan jika di luar hawanya dingin, maka proposisi tersebut akan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain, dan bahwa karenanya keadaan saling berhubungan itu merupakan konsekuensi dari kebenaran suatu pernyataan. Paham yang mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar, jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan “paham korespondensi”.

D. PRAGMATISME
    Teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh orang bernama William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Kebenaran adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, jika membawa akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktek, serta memiliki nilai praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai kebenaran.
               Menurut penganut praktis, sebuah kebenaran disebut benar jika memiliki nilai kegunaan [utility] dapat dikerjakan [workability], akibat atau pengaruhnya yang memuaskan [satisfactory consequence]. Dinyatakan sebuah kebenaran  jika memilki “hasil yang memuaskan “[satisfactory result], Dan dinyatakan kebenaran apabila : memuaskan keinginan dan tujuan manusia, dapat diuji kebenarannya dengan eksperimen dan mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.     Penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu konsekuensi. William James, misalnya mengatakan bahwa proposisi”Tuhan ada”adalah benar bagi seseorang yang hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Ini berarti bahwa proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengamlan-pengalaman kita, adalah benar.


KESIMPULAN

    Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa lepas dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri, sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Disamping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui  metode ilmiah. Kriteria ilmiah dari suatu ilmu mamang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang ada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya.
Penegasan diatas dapat di pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama;  pada dimensi fenomenalnya bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua; pada dimensi struktural, bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen,obyek sasaran yang hendak diteliti.
    Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.    Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsisten. Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu dapat diterima secara logis dan teori koherensi mamandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan yang lain sudah lebih dahulu diketahui,diterima dan diakui sebagai sesuatu yang benar. pernyataan dianggap benar bila penyataan itu bersifat koheren atau konsisten,artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya,yaitu yang koheren menurut logika.
2.    Teori kebenaran korespondensi adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang beralasan dengan realitas, yang serasi (corresponds) dengan situasi actual. Kebenaran ialah suatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (Judgment) dengan situasi seputar (Enviromental situation) yang diberinya intepretasi. Jika suatu putusan sesuai dengan fakta, maka dapat dikatakan benar ; Jika tidak maka dapat dikatakan salah.
3.     Teori kebenaran pragmatisme adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, jika membawa akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktek, serta memiliki nilai praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai kebenaran.  Menurut penganut praktis, sebuah kebenaran disebut benar jika memiliki nilai kegunaan [utility] dapat dikerjakan [workability], akibat atau pengaruhnya yang memuaskan [satisfactory consequence]. Dinyatakan sebuah kebenaran  jika memilki “hasil yang memuaskan “[satisfactory result], Dan dinyatakan kebenaran apabila : memuaskan keinginan dan tujuan manusia, dapat diuji kebenarannya dengan eksperimen dan mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.    


DAFTAR PUSTAKA

1.    Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir “ Filsafat Ilmu “, Dalam Filsafat Ilmu, Penelitian, dan Kebijakan Positivisme, Post Positivisme, Post Modernisme ( Penerbit Rake Sarasin ) Edisi II. Bagian Telaah Subtantif dan Instrumentatif. Hal 16 – 20.
2.    Dr. H. Boedi Abdullah “ Pengantar Filsafat Ilmu “, Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk Beluk Sumber Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. Bab V Hal 137.
3.    Achmad Charris Zubair “ Kajian Filsafat Ilmu “, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Bab 8 Hal 77
4.    Dr. M. Solihin, M.Ag “ Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern “ ( Pustaka Setia). Bab 19 Hal 309.
5.    Soejono Soemargono “ Pengantar Filsafat “ Louis O. Kattsoff. Bab 8 hal 180.

Wednesday 25 April 2012

Habis Gelap Terbitlah Galau

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN


PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam terus memudar seiring dengan merosotnya kekuasaan politik Islam. Bahkan semenjak abad ke-13 hingga abad ke-18, umat Islam benar-benar dalam kondisi stagnan.  Secara bersamaan dunia Barat terus mengembangkan ilmu pengetahuannya sampai mencapai kemajuan peradaban. Sampai saat ini pun, Barat tetap mengokohkan sebagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan secara tidak langsung berdampak positif bagi umat Islam. Setidaknya dunia Islam menyadari akan keterbelakangan peradaban dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Berangkat dari kesadaran itu, pada awal abad ke-20, Islam mengalami dinamika baru dengan memunculkan reorientasi dan transformasi ajarannya. Hal ini dikarenakan tradisi dan ajaran Islam mulai menuai tantangan masyarakat Barat sekuler.
Respon terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap bertopang pada ajaran Islam. Dengan penyikapan demikian, muncul proses islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam. Pada tataran yang lebih luas, Islamisasi merambah pada wilayah kehidupan umum, pemerintahan, organisasi, lembaga kesejahteraan sosial, dan pendidikan Islam. 
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak diarahkan untuk menolak pengetahuan yang ada. Ia merupakan upaya holistik dalam upaya menggabungkan dua kajian, yaitu wahyu dan alam, untuk menemukan alternatif metode pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif.
Pelibatan wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses islamisasi, berbanding terbalik dengan metode yang berkembang di kalangan ilmuwan Barat modern. Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan nilai, apalagi wahyu, dan bahkan secara ekstrim, ia tidak lagi memberikan tempat pada nilai-nilai manusiawi. Ini terlihat dari pernyataan Sardar, bahwa desakan untuk menolak semua pertimbangan nilai dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan menyebabkan metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi, dimanipulasi, dan dan dibedah atas nama sains.
Menyadari kondisi demikian, Ilmuwan muslim berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam. Usaha Ilmuan muslim itu memusatkan diri di sekitar masalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebagai upaya untuk mengatasi kemunduran ilmu pengetahuan Islam.
















PEMBAHASAN


A.    Hakikat Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara etimologis, istilah Islamisasi berasal dari kata “ Islam “yang mendapat tambahan kata “sasi” yang memiliki arti proses. Sehingga Islamisasi memiliki arti memberikan muatan Islam. Dalam bahasa arab, istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan disebut dengan Islamiyat al-Ma’rifat dan dalam bahasa Inggris disebut dengan Islamization of Knowledge Sedangkan dalam perspektif terminologis, Islamisasi merupakan pemberian dasar-dasar dan tujuan Islam yang diaplikasikan sejalan dengan cara-cara Islam.
Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting,. Ayat al-Qur’an yang pertama turun (Surat al-Alaq: 1-5) juga berkaitan dengan ilmu. Menurut Islam, ilmu tidak bebas nilai, sebagaimana yang dikembangkan Ilmuwan Barat, akan tetapi sarat nilai. Dalam Islam, ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, Islamisasi bermakna sebagai upaya menyusun kembali dua sumber ilmu pengetahuan, yaitu wahyu dan alam, untuk menghindari kontradiksi yang bisa muncul di antara keduanya. Secara operasional, ia merujuk pada upaya mengeliminir unsur-unsur dan konsep-konsep ajaran Islam. Atas dasar ilmu, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dipandang sekuler menuju cara Islam.
Al-Faruqi memandang Islamisasi pengetahuan sebagai sebagai suatu usaha untuk meng-Islamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepatnya menghasilkan buku pegangan pada level Universitas dengan merenungkan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dengan wawasan Islam.  Dengan adanya disiplin -disiplin ilmu yang sudah di-Islamkan dapat benar-benar berlandaskan kepada prinsip-prinsip Islam dan tidak lagi ilmu pengetahuan yang diadopsi dari Barat begitu saja.
Fokus utama al-Faruqi dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan lebih tertuju pada pembangunan generasi muda Islam melalui metode-metode modern dengan tetap berorientasi kepada Islam. Dalam mengadakan perubahan di dunia Islam melalui usaha meng-Islamkan ilmu pengetahuan tidak perlu menciptakan ilmu pengetahuan baru, melainkan berusaha mengejar ketertinggalan dengan mempelajari ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat sebagai suatu bangsa yang dianggap telah maju pada sat ini.
Sedangkan al-Attas mendefenisikan Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pembebasan manusia, mulai dari mitos, magic, dan animisme, dan tradisi kebudayaan. Islamisasi juga merupakan pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Pengetahuan telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Sedangkan Barat sendiri menurut al-Attas telah melahirkan kebingungan. Oleh karen itu, beliau memandang bahwa peradaban Barat tidak layak dikonsumsi sebelum dipilah dan dipilah.
Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh al-Attas adalah dengan jalan dengan Islamisasi bahasa sebagaimana telah terbukti oleh al-Qur'an ketika diturunkan kepada orang Arab. Dia juga menimbangkan metode tafsir dan ta'wil sebagai kaedah memperoleh konsep ilmu dan pendidikan yang sah.
Walaupun demikian, Islamisasi Ilmu pengetahuan merupakan proses peralihan dari landasan sekuler menuju Islam. Dengan kata lain, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan proses yang bertujuan untuk mengatasi perbedaan pendekatan metodologis ilmu pengetahuan antara keilmuan modern dan tradisi intelektual Islam klasik. Sebab ilmu pengetahuan modern menolak signifikansi transenden dan hanya membatasi pada kebenaran empiris saja. Sementara, ilmu pengetahuan Islam klasik mengabaikan pentingnya realitas empiris. 
Dalam hal ini, tugas para pemikir muslim untuk mengintegrasikan keduanya dengan kritis. Caranya bukan saja menyetujui perkembangan pengetahuan modern, akan tetapi harus ada upaya korelasi terhadap struktur dasar pengetahuan modern.

B.    Obyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan sudah mampu menguak hampir semua fenomena alam. Ilmu pengetahuan telah menjelajahi berbagai bidang, menajamkan cabang-cabangnya, dan menunculkan cabang baru. Dari penelusuran terhadap berbagai bidang ini, ilmu pengetahuan telah terbagi dalam berbagai disiplin, baik yang masuk dalam kategori ilmu sosial maupun ilmu alam.
Pada masa awal perkembangannya, ilmu pengetahuan seringkali dipilah berdasarkan fungsinya. Dalam konteks ini, pengetahuan dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan fundamental dan pengetahuan praksis. Ilmu pertama ditemukan  hanya sebagai sarana kepuasan rohaniah para ilmuwan, bukan untuk kepentingan praksis. Sedangkan pengetahuan kedua memang diarahkan pada tataran praksis kehidupan manusia. Namun demikian, dalam pandangan Mulyanto, pemilihan yang demikian ini tidak bersifat kaku. Sebab ada keterkaitan yang sangat erat antar keduanya. Bahkan, saat ini tidak terbedakan lagi mana pengetahuan fundamental dan mana pengetahuan praksis. 
Pemilahan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada disiplin ilmu pengetahuan yang dikaji. Di sini kemudian ilmu pengetahuan menjadi pengetahuan alam, sosial, dan Humaniora. Dalam konteks sebagai proses Islamisasi, semua disiplin ilmu tersebut dapat dijdikan sebagai obyek Islamisasi. Sekalipun dilihat dari istilah yang digunakan, wacana ini memberi kesan terpusat pada ilmu pengetahuan alam.
Menurut al-Faruqi, sebagai obyek Isalmisasi ilmu pengetahuan, setiap disiplin ilmu pengetahuan harus disusun dan dibangun ulang berdasarkan ajaran Islam, sehingga bangunan ilmu pengetahuan ini memiliki tujuan yang konsisten dengan ajaran Islam. Konkritnya, prinsip-prinsip Islam harus menjadi landasan metodologi, pendekatan, problem-problem, dan tujuan-tujuan pengetahuan tersebut  Walaupun demikian, semua disiplin dipandangnya harus dituang dalam konteks Islam. Al-Faruqi lebih menekankan akan perlunya proses Islamisasi ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dikemukakannya pada konferensi Internasional tentang pendidikan Muslim di Makkah pada tahun 1977.
Sedangkan al-Attas lebih cenderung pada melakukan Islamisasi pada ilmu-ilmu rasional. Oleh karena itu, ilmu-ilmu rasional intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur asing kemudian dimasukkannya unsur-unsur Islami.

C.    Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Sebagai upaya mengintegrasiakan ilmu pengetahuan Barat modern dan tradisi keilmuan klasik, al-Faruqi kemudian menetapkan lima prinsip metodologis yang menjadi dasar langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Al-Faruqi mengidentifikasi kelima prinsip tersebut dengan istilah lima kesatuan. Lima prinsip tersebut adalah:
1.    Ke-Esaan Allah atau Tauhid.
Ke-Esaan Allah merupakan prinsip utama dan pertama dalam ajaran Islam. Allah merupakan penyebab utama dan pertama serta tujuan akhir dari setiap ciptaannya. Termasuk dalam konteks ini adalah adalah sifat Esa Allah yang merupakan prinsip-prinsip konstitutif dan regulatif yang pertama dari pengetahuan. Oleh karena itu,  pengetahuan dalam perspektif Islam memandang setiap obyek pengetahuan sebagai penyempurnaan tujuan yang dikehendaki Allah atau mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, dalam Islam tidak dikenal adanya kehidupan, kebenaran pengetahuan, dan nilai-nilai tanpa menyandarkannya pada Allah, zat yang menjadi awal dan akhir setiap sesuatu , termasuk pengetahuan.
Dengan prinsip tauhid ini, berarti segala sesuatu harus tunduk dan patuh kepada Allah yang Maha Tinggi dari segala apa yang ada di muka bumi ini. Jadi, dalam pencarian ilmu pengetahuan harus didasarkan pada ajaran tauhid, yaitu sebagai suatu ajaran yang mampu mengantarkan umat Islam suatu kebenaran yang tidak diragukan lagi.
Selain itu, dengan ajaran tauhid, juga diharapkan dapat menjadi sebuah landasan bagi seluruh Universitas-Universitas Islam, baik secara teoritis maupun institusional, dimana Universitas-Universitas Islam adalah pencetus kelahiran para ilmuwan Muslim.  Dengan begitu, Universitas Islam akan mampu menciptakan suasana ke-Islaman dalam proses pembelajaran dan terutama dapat membangun jiwa generasi-generasi muda Islam yang berjiwa Islami serta mampu menghadapi tantangan-tantangan yang datang dari luar, sehingga mereka mampu bersaing dengan Ilmuwan lainnya tanpa adanya kekhawatiran akan terjadinya penyelewengan terhadap sendi-sendi ajaran Islam. Selama ini, banyak Universitas Islam yang telah diracuni konsep keilmuan barat yang telah memutuskan atau memisahkan antara urusan agama dengan urusan keilmuan, sehingga banyak dari ilmu-ilmu yang diciptakan oleh Barat yang menyimpang dari ajaran agama, sedangkan dalam Islam, ilmu pengetahuan harus didasarkan pada ajaran tauhid.
Dengan demikian, apabila apabila dilihat dari sistem antara ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat dengan ilmu pengetahuan Islam sangat jauh berbeda, terutama dalam segi landasan yang digunakan dalam menciptakan atau menghasilkan suatu ilmu pengetahuan.
2.    Kesatuan alam semesta.
Konsep tauhid secara teoritis mengantar pada konsep kesatuan makhluk. Allah menciptakan makhluk dan alam seisinya, oleh karenanya semuanya merupakan sesuatu yang integral yang memenuhi tata kosmis. Penciptaan makhluk ini bukan tanpa tujuan. Keseluruhan sistem akan terkait dan terjalin sedemikian rupa, sehingga ia merupakan sistem yang bertujuan akhir tunggal.
Menurut Sheikh Ja’far Subhani, sesungguhnya keteraturan dan hukum-hukum yang terjadi pada maujud alam bersifat total dan menyingkapkan sebuah sunnah pada sebuah titik tertentu di antar titik alam semesta. Semua itu membawa kita kepada dua hal, yaitu hanya ada satu pencipta dan hanya ada satu pengatur di alam semesta ini.
Atas dasar pemikiran tersebut, keyakinan kukuh dalam tauhid mempersenjatai peneliti dengan sebuah pandangan alam yang komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam sebagai sekedar kumpulan bagian-bagian yang terisolasi, akan tetapi ia melihat keterkaitan di antara bagian-bagian tersebut di balik keraguan.
3.    Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Konsep tauhid juga berimplikasi pula opada konsep kesatuan kebenaran dimana nalar manusia tidak dapat berdiri sendiri dan terpisah dari wahyu. Nalar manusia memerlukan wahyu untuk mencapai suatu kebenaran. Sehingga penyatuan antara wahyu dan analisa nalar manusia membentuk satu pandangan dunia yang utuh. Yaitu mempunyai sandaran terhadap wahyu maupun pengamatan manusia atas realitas empiris.
Menurut al-Faruqi kebenaran akal tidaklah bertentangan, namun saling berhubungan dengan wahyu atau kalau meminjam istilah biologi mengalami hubungan “Simbiosis Mutualisme”, artinya saling melengkapi. Karena bagaimanapun juga kita tahu bahwa kepercayaan agama yang ditopang oleh wahyu itu adalah pemberian Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran.
Lebih lanjut menurut al-Faruqi, dalam kesatuan kebenaran harus memiliki syarat-syarat, yaitu:
a.    Kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas. Artinya, sebagaimana dikatakan al-Faruqi, bahwa wahyu tidak mungkin bertentangan dengan realitas, karena wahyu merupakan Firman Allah.
b.    Kesatuan kebenaran yang dirumuskan adalah tidak ada kontradiksi, perbedaan, atau variasi antara nalar dan wahyu.
c.    Kesatuan kebenaran tidak pernah berakhir atau tidak ada batas, karena pola dari Allah tidak terhingga. Oleh karena itu, diperlukan sikap terbuka terhadap suatu bukti yang baru.
Dengan melalui tiga aspek yang mendasari kebenaran dan kesatuan pengetahuan di atas, maka semua itu dapat menuntun manusia dari kesesatan nalar yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Karena nalar manusia mempunyai penyimpangan-penyimpangan dan kekeliruan dalam cara berpikirnya, sehingga perlu adanya sebuah dukungan dari wahyu Allah sebagai suatu jalan kebenaran bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini.
4.    Kesatuan Hidup.
Dalam surat al-Baqarah ayat 30 dijelaskan bahwa manusia diciptakan di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi, di mana kedudukan khalifah adalah sebagai pemimpin di dunia yang merupakan amanah dari Allah untuk memelihara alam semesta ini.untuk menjalankan tugas manusia dengan sebaik-baiknya, maka manusia harus patuh dan taat kepada terhadap segala perintahnya serta menjauhi segala larangannya.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, yang dikehendaki disini adalah agar para ilmuwan senantiasa tunduk kepada aturan Allah. Ia diciptaklan oleh Allah SWT sebagai khalifah untuk memelihara agar ilmuwan tahu akan batas-batas tingkah lakunya. Ia harus mengerti dan menjalankan syariat yang memperkenalkan hukum-hukum antara yang boleh dan tidak. Maka melalui kesatuan hidup ini, manusia akan mampu menyesuaikan antara ajaran Islam dengan realitas yang ada.
5.    Kesatuan umat manusia.
Manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna di antara makhluk ciptaannya. Keberaan manusia di atas bumi ini memiliki berbagai macam perbedaan baik dilihat dari sisi budaya, bangsa, bahasa, dan sukunya. Namun dengan adanya perbedaan itu tidak perlu dijadikan sebagai suatu masalah yang sampai berakibat perpecahan di antara sesama umat manusia. Dengan perbedaan yang ada, manusia bisa saling kenal di antara sesama manusia. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
 ••           •      •      
“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam  ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan bermacam-macam agar mereka saling mengenal dan membantu segala apa yang menyangkut kepentingan sesama umat manusia, sehingga akan terwujud suatu kerja sama yang baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang ada.
Adapun pengaruh perbedaan yang terjadi di antara sesama umat manusia yang berdampak pada perpecahan. Ini bisa dikarenakan paham etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang yang lebih mementingkan kepentingan etnisnya sendiri dan mengabaikan kepentingan etnis-etnis yang lain serta menganggap bahwa kebenaran hanya dimilikinya sendiri.  Pengaruh dari paham ini harus dihilangkan dan dihapus dari setiap etnis, sehingga akan tercipta suatu kesatuan antara sesama umat manusia di muka bumi ini.
Dengan demikian, kalau manusia ingin membangun kesatuan di antara sesama umat manusia sebaiknya menghilangkan sikap etnosentrisnya dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh dari sikap sangat membahayakan dalam perkembangan dunia umat manusia di masa yang akan datang. Maka mulai dari sekarang umat Islam harus menanamkan rasa kebersamaan di antara umat manusia.

D.    Langkah-Langkah Islamisasi Ilmu pengetahuan.
Al-Faruqi dalam mencapai tujuan  untuk meng-Islamkan kembali ilmu pengetahuan telah merancang 5 sasaran, yaitu:
1.    Penguasaan disiplin ilmu modern.
2.    Penguasaan khazanah Islam
3.    Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern.
4.    Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan Ilmu modern.
5.    Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diperlukan 12 langkah yang diambil dalam proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan, di antaranya lain:
a.    Penguasaan disiplin ilmu modern.
b.    Survei disiplin ilmu.
c.    Penguasaan khazanah Islam.
d.    Penguasaan khazanah ilmiah: tahap analisa.
e.    Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
f.    Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya.
g.    Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkat perkembangannya dewasa ini.
h.    Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam.
i.    Survei permasalahan yang dihadapi manusia.
j.    Analisa kreatif dan sintesa.
k.    Renungan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku pelajaran tingkat universitas.
l.    Penyebaran ilmu-ilmu yang telah di-Islamkan.
Upaya yang dilakukan oleh al-Faruqi di atas merupakan aksi dalam menjembatani dua sistem pendidikan. Di satu sisi, Pendidikan Islam dianggap tradisional dan pendidikan Barat dianggap modern. Menurutnya, pendidikan Barat memiliki kelemahan, dikarenakan sifatnya yang non agama sehingga mengesampingkan kebenaran transendental yang sangat penting dalam pendidikan Islam sebagai kebenaran absolut.
Sayangnya banyaknya sekali pendidikan di dunia Islam mengadopsi dengan tanpa kritik, sehingga model pendidikan serta persoalan-persoalan yang disuguhkan adalah persoalan-persoalan yang diberikan kepada siswanya. Dari sinilah, menurut al-Faruqi sekularisme menjalar. Di sisi lain, Pendidkan Islam masih jauh tertinggal itu dikarenakan sifatnya yang masih konservatif oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagasnya berusaha menjembatani sistem pendidikan tersebut.
Akan tetapi, langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dicetuskan oleh al-Faruqi mendapatkan pertentangan dari Ziauddin Sardar. Sebenarnya dia menyepakati, akan tetapi Sardar menilai bahwa langkah-langkah tersebut mengandung cacat. Dalam hal ini dia juga menggagas langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka proses Islamisasi Ilmu pengetahuan, yaitu:
1). Merumuskan kembali Epistemologi Islam.
Ciri-ciri dari epistemologi Sardar adalah:
a)    Yang didasarkan atas suatu kerangka pedoman mutlak. Epistemologi Islam bersifat aktif, bukan pasif.
b)    Dia memandang obyektif sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi.
c)    Sebagian besar bersifat deduktif.
d)    Dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat Inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang obyektif.
e)    Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam.
f)    Dia berusaha menyusun pengalaman subyektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini. Dari sinilah umat Islam memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka.
g)    Dia memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran atau tingkat pengalaman subyektif sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan tingkat lainnya (ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses kesadaran yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinasi kreatif dan pengalaman mistik serta spiritual).
h)    Dia tidak bertentangan dengan pandangan holostik,  menyatu, dan manusiawi. Dengan begitu, ia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dalam pertumbuhan intelektual.
2). Penyusunan metodologi ilmu pengetahuan yang baru.
3). Kajian analitis terhadap sejarah ilmu pengetahun di negara-negara Muslim.
4). Penelitian empiris.
5). Pembangunan lembaga-lembaga riset.
6). Pemaduan sistem tingkat kerja lembaga-lembaga riset dalam sistem pendidikan.
7). Penyebaran kesadaran akan masalah-masalah ilmu pengetahuan dalam masyarakat.
E.    ANALISA.
Dari definisi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan , antara Naquib al-Attas dengan al-Faruqi, tampak bahwa al-faruqi lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern, yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara al-Attas lebih menekankan dikedepankannya genitas yang digali dari tradisi lokal. Menurutnya, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri, tanpa bantuan ilmu pengetahuan modern. Dengan merujuk pada khazanahnya sendiri, umat Islam diyakini mampu menciptakan kebangkitan peradaban.
Secara praktis, bahkan pragmatis, tampak bahwa gagasan al-Faruqi lebih relevan. Saat ini umat Islam mengalami kekalahan di dalam penguasaan ilmu. Kita akan selalu kalah jika ilmu yang ada sekarang ini tidak kita pelajari dan manfaatkan. Oleh karena itu, agar umat Islam tidak terus-menerus ketinggalan dan semakin jauh ketinggalan, maka ilmu pengetahuan modern juga harus dan setelah itu disintesakan dengan Islam. Keunggulan al-Faruqi adalah ia mampu menjawab sebagian permasalahan umat Islam. Akan tetapi secara esensial, kita tidak akan melepaskan dari Ilmu pengetahuan modern yang notabenennya sekuler dan memiliki sejumlah kelemahan.




KESIMPULAN

Isalamisasi ilmu pengetahuan merupakan upaya menyusun kembali dua sumber ilmu pengetahuan, yaitu wahyu dan alam untuk menghindari kontradiksi di antara keduanya. Obyek ilmu pengetahuan yang menjadi sasaran dalam Islamisasi ilmu pengetahuan mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial, sastra, maupun alam. Hal ini sekaligus menunjukkan akan kesalahpahaman ilmuwan yang cenderung pada ilmu alam saja.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para ilmuwan juga berbeda. Hal ini bisa dilihat pada gagasan al-Faruqi dan al-Attas. Ini dikarenakan pemahaman atau pemaknaan mereka yang berbeda mengenai hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kita jangan sampai terjebak kepada perbedaan tersebut, karena mereka juga mempunyai dasar-dasar sendiri. Gagasan mereka tidak ada yang salah, semuanya dicetuskan dalam rangka mengatasi kemunduran ilmu pengetahuan yang dialami umat Islam saat ini

DAFTAR PUSTAKA


Al-Attas, Syed Ahmad Naquib. Intelektual masyarakat berkembang. Jakarta:
LP3ES, 1988
________________________. Pemikiran Islam kontemporer. Yogyakarta: Jendela, 2003

Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, Filsafat Sains menirut al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998
Esposito,  John. L. Ancaman Islam Mitos atau Realitas? ter. Alwiyyah  Abdur Rahman dan Missi. Bandung:Mizan, 1996
Al-Faruqi, Ismail Raji Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ter. Anas Wahyudin. Bandung: Pustaka, 1995
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains menurut al-Qur’an, ter. Agus Effendi. Bandung: Mizan, 1998
Jalaluddin .Islam Alternatif. Bandung:Mizan, 1986
Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Jurnal Ulum al-Qur’an, No. 9, Vol. II.  Jakarta: LSAF, 1991
Nasr, Sayyed Hossen. Islam and Contemporary Society. London: Longman Group, 1982
Nasution, Harun.Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Purwadi, Agus .Teologi Filsafat da Sains, Pergumulan dalam peradaban mencari Islam untuk Ilmu dan Pendidikan. Malang: UMM-Press, 2000
Raharjo, Dawam . Islam Indonesia menatap masa depan. Jakarta: P3M, 1989
Saifudin, A.M.  dan Yusra Marasbessy, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1993
Sardar, Ziauddin Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter sains Islam.  Surabaya: Risalah Gusti, 1998
Warta Sains dan Teknologi "DIMENSI" vol:V no:2 edisi juni 2003.