Wednesday, 25 April 2012

Habis Gelap Terbitlah Galau

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN


PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam terus memudar seiring dengan merosotnya kekuasaan politik Islam. Bahkan semenjak abad ke-13 hingga abad ke-18, umat Islam benar-benar dalam kondisi stagnan.  Secara bersamaan dunia Barat terus mengembangkan ilmu pengetahuannya sampai mencapai kemajuan peradaban. Sampai saat ini pun, Barat tetap mengokohkan sebagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan secara tidak langsung berdampak positif bagi umat Islam. Setidaknya dunia Islam menyadari akan keterbelakangan peradaban dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Berangkat dari kesadaran itu, pada awal abad ke-20, Islam mengalami dinamika baru dengan memunculkan reorientasi dan transformasi ajarannya. Hal ini dikarenakan tradisi dan ajaran Islam mulai menuai tantangan masyarakat Barat sekuler.
Respon terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap bertopang pada ajaran Islam. Dengan penyikapan demikian, muncul proses islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam. Pada tataran yang lebih luas, Islamisasi merambah pada wilayah kehidupan umum, pemerintahan, organisasi, lembaga kesejahteraan sosial, dan pendidikan Islam. 
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak diarahkan untuk menolak pengetahuan yang ada. Ia merupakan upaya holistik dalam upaya menggabungkan dua kajian, yaitu wahyu dan alam, untuk menemukan alternatif metode pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif.
Pelibatan wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses islamisasi, berbanding terbalik dengan metode yang berkembang di kalangan ilmuwan Barat modern. Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan nilai, apalagi wahyu, dan bahkan secara ekstrim, ia tidak lagi memberikan tempat pada nilai-nilai manusiawi. Ini terlihat dari pernyataan Sardar, bahwa desakan untuk menolak semua pertimbangan nilai dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan menyebabkan metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi, dimanipulasi, dan dan dibedah atas nama sains.
Menyadari kondisi demikian, Ilmuwan muslim berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam. Usaha Ilmuan muslim itu memusatkan diri di sekitar masalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebagai upaya untuk mengatasi kemunduran ilmu pengetahuan Islam.
















PEMBAHASAN


A.    Hakikat Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara etimologis, istilah Islamisasi berasal dari kata “ Islam “yang mendapat tambahan kata “sasi” yang memiliki arti proses. Sehingga Islamisasi memiliki arti memberikan muatan Islam. Dalam bahasa arab, istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan disebut dengan Islamiyat al-Ma’rifat dan dalam bahasa Inggris disebut dengan Islamization of Knowledge Sedangkan dalam perspektif terminologis, Islamisasi merupakan pemberian dasar-dasar dan tujuan Islam yang diaplikasikan sejalan dengan cara-cara Islam.
Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting,. Ayat al-Qur’an yang pertama turun (Surat al-Alaq: 1-5) juga berkaitan dengan ilmu. Menurut Islam, ilmu tidak bebas nilai, sebagaimana yang dikembangkan Ilmuwan Barat, akan tetapi sarat nilai. Dalam Islam, ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, Islamisasi bermakna sebagai upaya menyusun kembali dua sumber ilmu pengetahuan, yaitu wahyu dan alam, untuk menghindari kontradiksi yang bisa muncul di antara keduanya. Secara operasional, ia merujuk pada upaya mengeliminir unsur-unsur dan konsep-konsep ajaran Islam. Atas dasar ilmu, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dipandang sekuler menuju cara Islam.
Al-Faruqi memandang Islamisasi pengetahuan sebagai sebagai suatu usaha untuk meng-Islamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepatnya menghasilkan buku pegangan pada level Universitas dengan merenungkan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dengan wawasan Islam.  Dengan adanya disiplin -disiplin ilmu yang sudah di-Islamkan dapat benar-benar berlandaskan kepada prinsip-prinsip Islam dan tidak lagi ilmu pengetahuan yang diadopsi dari Barat begitu saja.
Fokus utama al-Faruqi dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan lebih tertuju pada pembangunan generasi muda Islam melalui metode-metode modern dengan tetap berorientasi kepada Islam. Dalam mengadakan perubahan di dunia Islam melalui usaha meng-Islamkan ilmu pengetahuan tidak perlu menciptakan ilmu pengetahuan baru, melainkan berusaha mengejar ketertinggalan dengan mempelajari ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat sebagai suatu bangsa yang dianggap telah maju pada sat ini.
Sedangkan al-Attas mendefenisikan Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pembebasan manusia, mulai dari mitos, magic, dan animisme, dan tradisi kebudayaan. Islamisasi juga merupakan pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Pengetahuan telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Sedangkan Barat sendiri menurut al-Attas telah melahirkan kebingungan. Oleh karen itu, beliau memandang bahwa peradaban Barat tidak layak dikonsumsi sebelum dipilah dan dipilah.
Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh al-Attas adalah dengan jalan dengan Islamisasi bahasa sebagaimana telah terbukti oleh al-Qur'an ketika diturunkan kepada orang Arab. Dia juga menimbangkan metode tafsir dan ta'wil sebagai kaedah memperoleh konsep ilmu dan pendidikan yang sah.
Walaupun demikian, Islamisasi Ilmu pengetahuan merupakan proses peralihan dari landasan sekuler menuju Islam. Dengan kata lain, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan proses yang bertujuan untuk mengatasi perbedaan pendekatan metodologis ilmu pengetahuan antara keilmuan modern dan tradisi intelektual Islam klasik. Sebab ilmu pengetahuan modern menolak signifikansi transenden dan hanya membatasi pada kebenaran empiris saja. Sementara, ilmu pengetahuan Islam klasik mengabaikan pentingnya realitas empiris. 
Dalam hal ini, tugas para pemikir muslim untuk mengintegrasikan keduanya dengan kritis. Caranya bukan saja menyetujui perkembangan pengetahuan modern, akan tetapi harus ada upaya korelasi terhadap struktur dasar pengetahuan modern.

B.    Obyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan sudah mampu menguak hampir semua fenomena alam. Ilmu pengetahuan telah menjelajahi berbagai bidang, menajamkan cabang-cabangnya, dan menunculkan cabang baru. Dari penelusuran terhadap berbagai bidang ini, ilmu pengetahuan telah terbagi dalam berbagai disiplin, baik yang masuk dalam kategori ilmu sosial maupun ilmu alam.
Pada masa awal perkembangannya, ilmu pengetahuan seringkali dipilah berdasarkan fungsinya. Dalam konteks ini, pengetahuan dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan fundamental dan pengetahuan praksis. Ilmu pertama ditemukan  hanya sebagai sarana kepuasan rohaniah para ilmuwan, bukan untuk kepentingan praksis. Sedangkan pengetahuan kedua memang diarahkan pada tataran praksis kehidupan manusia. Namun demikian, dalam pandangan Mulyanto, pemilihan yang demikian ini tidak bersifat kaku. Sebab ada keterkaitan yang sangat erat antar keduanya. Bahkan, saat ini tidak terbedakan lagi mana pengetahuan fundamental dan mana pengetahuan praksis. 
Pemilahan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada disiplin ilmu pengetahuan yang dikaji. Di sini kemudian ilmu pengetahuan menjadi pengetahuan alam, sosial, dan Humaniora. Dalam konteks sebagai proses Islamisasi, semua disiplin ilmu tersebut dapat dijdikan sebagai obyek Islamisasi. Sekalipun dilihat dari istilah yang digunakan, wacana ini memberi kesan terpusat pada ilmu pengetahuan alam.
Menurut al-Faruqi, sebagai obyek Isalmisasi ilmu pengetahuan, setiap disiplin ilmu pengetahuan harus disusun dan dibangun ulang berdasarkan ajaran Islam, sehingga bangunan ilmu pengetahuan ini memiliki tujuan yang konsisten dengan ajaran Islam. Konkritnya, prinsip-prinsip Islam harus menjadi landasan metodologi, pendekatan, problem-problem, dan tujuan-tujuan pengetahuan tersebut  Walaupun demikian, semua disiplin dipandangnya harus dituang dalam konteks Islam. Al-Faruqi lebih menekankan akan perlunya proses Islamisasi ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dikemukakannya pada konferensi Internasional tentang pendidikan Muslim di Makkah pada tahun 1977.
Sedangkan al-Attas lebih cenderung pada melakukan Islamisasi pada ilmu-ilmu rasional. Oleh karena itu, ilmu-ilmu rasional intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur asing kemudian dimasukkannya unsur-unsur Islami.

C.    Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Sebagai upaya mengintegrasiakan ilmu pengetahuan Barat modern dan tradisi keilmuan klasik, al-Faruqi kemudian menetapkan lima prinsip metodologis yang menjadi dasar langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Al-Faruqi mengidentifikasi kelima prinsip tersebut dengan istilah lima kesatuan. Lima prinsip tersebut adalah:
1.    Ke-Esaan Allah atau Tauhid.
Ke-Esaan Allah merupakan prinsip utama dan pertama dalam ajaran Islam. Allah merupakan penyebab utama dan pertama serta tujuan akhir dari setiap ciptaannya. Termasuk dalam konteks ini adalah adalah sifat Esa Allah yang merupakan prinsip-prinsip konstitutif dan regulatif yang pertama dari pengetahuan. Oleh karena itu,  pengetahuan dalam perspektif Islam memandang setiap obyek pengetahuan sebagai penyempurnaan tujuan yang dikehendaki Allah atau mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, dalam Islam tidak dikenal adanya kehidupan, kebenaran pengetahuan, dan nilai-nilai tanpa menyandarkannya pada Allah, zat yang menjadi awal dan akhir setiap sesuatu , termasuk pengetahuan.
Dengan prinsip tauhid ini, berarti segala sesuatu harus tunduk dan patuh kepada Allah yang Maha Tinggi dari segala apa yang ada di muka bumi ini. Jadi, dalam pencarian ilmu pengetahuan harus didasarkan pada ajaran tauhid, yaitu sebagai suatu ajaran yang mampu mengantarkan umat Islam suatu kebenaran yang tidak diragukan lagi.
Selain itu, dengan ajaran tauhid, juga diharapkan dapat menjadi sebuah landasan bagi seluruh Universitas-Universitas Islam, baik secara teoritis maupun institusional, dimana Universitas-Universitas Islam adalah pencetus kelahiran para ilmuwan Muslim.  Dengan begitu, Universitas Islam akan mampu menciptakan suasana ke-Islaman dalam proses pembelajaran dan terutama dapat membangun jiwa generasi-generasi muda Islam yang berjiwa Islami serta mampu menghadapi tantangan-tantangan yang datang dari luar, sehingga mereka mampu bersaing dengan Ilmuwan lainnya tanpa adanya kekhawatiran akan terjadinya penyelewengan terhadap sendi-sendi ajaran Islam. Selama ini, banyak Universitas Islam yang telah diracuni konsep keilmuan barat yang telah memutuskan atau memisahkan antara urusan agama dengan urusan keilmuan, sehingga banyak dari ilmu-ilmu yang diciptakan oleh Barat yang menyimpang dari ajaran agama, sedangkan dalam Islam, ilmu pengetahuan harus didasarkan pada ajaran tauhid.
Dengan demikian, apabila apabila dilihat dari sistem antara ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat dengan ilmu pengetahuan Islam sangat jauh berbeda, terutama dalam segi landasan yang digunakan dalam menciptakan atau menghasilkan suatu ilmu pengetahuan.
2.    Kesatuan alam semesta.
Konsep tauhid secara teoritis mengantar pada konsep kesatuan makhluk. Allah menciptakan makhluk dan alam seisinya, oleh karenanya semuanya merupakan sesuatu yang integral yang memenuhi tata kosmis. Penciptaan makhluk ini bukan tanpa tujuan. Keseluruhan sistem akan terkait dan terjalin sedemikian rupa, sehingga ia merupakan sistem yang bertujuan akhir tunggal.
Menurut Sheikh Ja’far Subhani, sesungguhnya keteraturan dan hukum-hukum yang terjadi pada maujud alam bersifat total dan menyingkapkan sebuah sunnah pada sebuah titik tertentu di antar titik alam semesta. Semua itu membawa kita kepada dua hal, yaitu hanya ada satu pencipta dan hanya ada satu pengatur di alam semesta ini.
Atas dasar pemikiran tersebut, keyakinan kukuh dalam tauhid mempersenjatai peneliti dengan sebuah pandangan alam yang komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam sebagai sekedar kumpulan bagian-bagian yang terisolasi, akan tetapi ia melihat keterkaitan di antara bagian-bagian tersebut di balik keraguan.
3.    Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Konsep tauhid juga berimplikasi pula opada konsep kesatuan kebenaran dimana nalar manusia tidak dapat berdiri sendiri dan terpisah dari wahyu. Nalar manusia memerlukan wahyu untuk mencapai suatu kebenaran. Sehingga penyatuan antara wahyu dan analisa nalar manusia membentuk satu pandangan dunia yang utuh. Yaitu mempunyai sandaran terhadap wahyu maupun pengamatan manusia atas realitas empiris.
Menurut al-Faruqi kebenaran akal tidaklah bertentangan, namun saling berhubungan dengan wahyu atau kalau meminjam istilah biologi mengalami hubungan “Simbiosis Mutualisme”, artinya saling melengkapi. Karena bagaimanapun juga kita tahu bahwa kepercayaan agama yang ditopang oleh wahyu itu adalah pemberian Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran.
Lebih lanjut menurut al-Faruqi, dalam kesatuan kebenaran harus memiliki syarat-syarat, yaitu:
a.    Kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas. Artinya, sebagaimana dikatakan al-Faruqi, bahwa wahyu tidak mungkin bertentangan dengan realitas, karena wahyu merupakan Firman Allah.
b.    Kesatuan kebenaran yang dirumuskan adalah tidak ada kontradiksi, perbedaan, atau variasi antara nalar dan wahyu.
c.    Kesatuan kebenaran tidak pernah berakhir atau tidak ada batas, karena pola dari Allah tidak terhingga. Oleh karena itu, diperlukan sikap terbuka terhadap suatu bukti yang baru.
Dengan melalui tiga aspek yang mendasari kebenaran dan kesatuan pengetahuan di atas, maka semua itu dapat menuntun manusia dari kesesatan nalar yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Karena nalar manusia mempunyai penyimpangan-penyimpangan dan kekeliruan dalam cara berpikirnya, sehingga perlu adanya sebuah dukungan dari wahyu Allah sebagai suatu jalan kebenaran bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini.
4.    Kesatuan Hidup.
Dalam surat al-Baqarah ayat 30 dijelaskan bahwa manusia diciptakan di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi, di mana kedudukan khalifah adalah sebagai pemimpin di dunia yang merupakan amanah dari Allah untuk memelihara alam semesta ini.untuk menjalankan tugas manusia dengan sebaik-baiknya, maka manusia harus patuh dan taat kepada terhadap segala perintahnya serta menjauhi segala larangannya.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, yang dikehendaki disini adalah agar para ilmuwan senantiasa tunduk kepada aturan Allah. Ia diciptaklan oleh Allah SWT sebagai khalifah untuk memelihara agar ilmuwan tahu akan batas-batas tingkah lakunya. Ia harus mengerti dan menjalankan syariat yang memperkenalkan hukum-hukum antara yang boleh dan tidak. Maka melalui kesatuan hidup ini, manusia akan mampu menyesuaikan antara ajaran Islam dengan realitas yang ada.
5.    Kesatuan umat manusia.
Manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna di antara makhluk ciptaannya. Keberaan manusia di atas bumi ini memiliki berbagai macam perbedaan baik dilihat dari sisi budaya, bangsa, bahasa, dan sukunya. Namun dengan adanya perbedaan itu tidak perlu dijadikan sebagai suatu masalah yang sampai berakibat perpecahan di antara sesama umat manusia. Dengan perbedaan yang ada, manusia bisa saling kenal di antara sesama manusia. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
 ••           •      •      
“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam  ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan bermacam-macam agar mereka saling mengenal dan membantu segala apa yang menyangkut kepentingan sesama umat manusia, sehingga akan terwujud suatu kerja sama yang baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang ada.
Adapun pengaruh perbedaan yang terjadi di antara sesama umat manusia yang berdampak pada perpecahan. Ini bisa dikarenakan paham etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang yang lebih mementingkan kepentingan etnisnya sendiri dan mengabaikan kepentingan etnis-etnis yang lain serta menganggap bahwa kebenaran hanya dimilikinya sendiri.  Pengaruh dari paham ini harus dihilangkan dan dihapus dari setiap etnis, sehingga akan tercipta suatu kesatuan antara sesama umat manusia di muka bumi ini.
Dengan demikian, kalau manusia ingin membangun kesatuan di antara sesama umat manusia sebaiknya menghilangkan sikap etnosentrisnya dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh dari sikap sangat membahayakan dalam perkembangan dunia umat manusia di masa yang akan datang. Maka mulai dari sekarang umat Islam harus menanamkan rasa kebersamaan di antara umat manusia.

D.    Langkah-Langkah Islamisasi Ilmu pengetahuan.
Al-Faruqi dalam mencapai tujuan  untuk meng-Islamkan kembali ilmu pengetahuan telah merancang 5 sasaran, yaitu:
1.    Penguasaan disiplin ilmu modern.
2.    Penguasaan khazanah Islam
3.    Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern.
4.    Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan Ilmu modern.
5.    Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diperlukan 12 langkah yang diambil dalam proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan, di antaranya lain:
a.    Penguasaan disiplin ilmu modern.
b.    Survei disiplin ilmu.
c.    Penguasaan khazanah Islam.
d.    Penguasaan khazanah ilmiah: tahap analisa.
e.    Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
f.    Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya.
g.    Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkat perkembangannya dewasa ini.
h.    Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam.
i.    Survei permasalahan yang dihadapi manusia.
j.    Analisa kreatif dan sintesa.
k.    Renungan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku pelajaran tingkat universitas.
l.    Penyebaran ilmu-ilmu yang telah di-Islamkan.
Upaya yang dilakukan oleh al-Faruqi di atas merupakan aksi dalam menjembatani dua sistem pendidikan. Di satu sisi, Pendidikan Islam dianggap tradisional dan pendidikan Barat dianggap modern. Menurutnya, pendidikan Barat memiliki kelemahan, dikarenakan sifatnya yang non agama sehingga mengesampingkan kebenaran transendental yang sangat penting dalam pendidikan Islam sebagai kebenaran absolut.
Sayangnya banyaknya sekali pendidikan di dunia Islam mengadopsi dengan tanpa kritik, sehingga model pendidikan serta persoalan-persoalan yang disuguhkan adalah persoalan-persoalan yang diberikan kepada siswanya. Dari sinilah, menurut al-Faruqi sekularisme menjalar. Di sisi lain, Pendidkan Islam masih jauh tertinggal itu dikarenakan sifatnya yang masih konservatif oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagasnya berusaha menjembatani sistem pendidikan tersebut.
Akan tetapi, langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dicetuskan oleh al-Faruqi mendapatkan pertentangan dari Ziauddin Sardar. Sebenarnya dia menyepakati, akan tetapi Sardar menilai bahwa langkah-langkah tersebut mengandung cacat. Dalam hal ini dia juga menggagas langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka proses Islamisasi Ilmu pengetahuan, yaitu:
1). Merumuskan kembali Epistemologi Islam.
Ciri-ciri dari epistemologi Sardar adalah:
a)    Yang didasarkan atas suatu kerangka pedoman mutlak. Epistemologi Islam bersifat aktif, bukan pasif.
b)    Dia memandang obyektif sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi.
c)    Sebagian besar bersifat deduktif.
d)    Dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat Inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang obyektif.
e)    Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam.
f)    Dia berusaha menyusun pengalaman subyektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini. Dari sinilah umat Islam memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka.
g)    Dia memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran atau tingkat pengalaman subyektif sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan tingkat lainnya (ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses kesadaran yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinasi kreatif dan pengalaman mistik serta spiritual).
h)    Dia tidak bertentangan dengan pandangan holostik,  menyatu, dan manusiawi. Dengan begitu, ia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dalam pertumbuhan intelektual.
2). Penyusunan metodologi ilmu pengetahuan yang baru.
3). Kajian analitis terhadap sejarah ilmu pengetahun di negara-negara Muslim.
4). Penelitian empiris.
5). Pembangunan lembaga-lembaga riset.
6). Pemaduan sistem tingkat kerja lembaga-lembaga riset dalam sistem pendidikan.
7). Penyebaran kesadaran akan masalah-masalah ilmu pengetahuan dalam masyarakat.
E.    ANALISA.
Dari definisi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan , antara Naquib al-Attas dengan al-Faruqi, tampak bahwa al-faruqi lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern, yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara al-Attas lebih menekankan dikedepankannya genitas yang digali dari tradisi lokal. Menurutnya, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri, tanpa bantuan ilmu pengetahuan modern. Dengan merujuk pada khazanahnya sendiri, umat Islam diyakini mampu menciptakan kebangkitan peradaban.
Secara praktis, bahkan pragmatis, tampak bahwa gagasan al-Faruqi lebih relevan. Saat ini umat Islam mengalami kekalahan di dalam penguasaan ilmu. Kita akan selalu kalah jika ilmu yang ada sekarang ini tidak kita pelajari dan manfaatkan. Oleh karena itu, agar umat Islam tidak terus-menerus ketinggalan dan semakin jauh ketinggalan, maka ilmu pengetahuan modern juga harus dan setelah itu disintesakan dengan Islam. Keunggulan al-Faruqi adalah ia mampu menjawab sebagian permasalahan umat Islam. Akan tetapi secara esensial, kita tidak akan melepaskan dari Ilmu pengetahuan modern yang notabenennya sekuler dan memiliki sejumlah kelemahan.




KESIMPULAN

Isalamisasi ilmu pengetahuan merupakan upaya menyusun kembali dua sumber ilmu pengetahuan, yaitu wahyu dan alam untuk menghindari kontradiksi di antara keduanya. Obyek ilmu pengetahuan yang menjadi sasaran dalam Islamisasi ilmu pengetahuan mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial, sastra, maupun alam. Hal ini sekaligus menunjukkan akan kesalahpahaman ilmuwan yang cenderung pada ilmu alam saja.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para ilmuwan juga berbeda. Hal ini bisa dilihat pada gagasan al-Faruqi dan al-Attas. Ini dikarenakan pemahaman atau pemaknaan mereka yang berbeda mengenai hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kita jangan sampai terjebak kepada perbedaan tersebut, karena mereka juga mempunyai dasar-dasar sendiri. Gagasan mereka tidak ada yang salah, semuanya dicetuskan dalam rangka mengatasi kemunduran ilmu pengetahuan yang dialami umat Islam saat ini

DAFTAR PUSTAKA


Al-Attas, Syed Ahmad Naquib. Intelektual masyarakat berkembang. Jakarta:
LP3ES, 1988
________________________. Pemikiran Islam kontemporer. Yogyakarta: Jendela, 2003

Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, Filsafat Sains menirut al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998
Esposito,  John. L. Ancaman Islam Mitos atau Realitas? ter. Alwiyyah  Abdur Rahman dan Missi. Bandung:Mizan, 1996
Al-Faruqi, Ismail Raji Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ter. Anas Wahyudin. Bandung: Pustaka, 1995
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains menurut al-Qur’an, ter. Agus Effendi. Bandung: Mizan, 1998
Jalaluddin .Islam Alternatif. Bandung:Mizan, 1986
Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Jurnal Ulum al-Qur’an, No. 9, Vol. II.  Jakarta: LSAF, 1991
Nasr, Sayyed Hossen. Islam and Contemporary Society. London: Longman Group, 1982
Nasution, Harun.Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Purwadi, Agus .Teologi Filsafat da Sains, Pergumulan dalam peradaban mencari Islam untuk Ilmu dan Pendidikan. Malang: UMM-Press, 2000
Raharjo, Dawam . Islam Indonesia menatap masa depan. Jakarta: P3M, 1989
Saifudin, A.M.  dan Yusra Marasbessy, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1993
Sardar, Ziauddin Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter sains Islam.  Surabaya: Risalah Gusti, 1998
Warta Sains dan Teknologi "DIMENSI" vol:V no:2 edisi juni 2003.

No comments:

Post a Comment