Saturday, 28 April 2012

RASIONALISME





A.    Latar Belakang
     Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.
      Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan 1.

B.    Rumusan Masalah
      Berdasarkan uraian singkat di atas, berikut ini beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam karya tulis ini:
1.    Pengertian Rasionalisme
2.    Pembagian Rasionalisme
3.    Tokoh – Tokoh Rasionalisme


PEMBAHASAN
1.    Pengertian Rasionalisme
      Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan  diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Orang mengatakan (biasanya) bapak aliran ini ialah Rene Descartes (1596-1650); ini benar. Akan tetapi, sesungguhnya paham seperti ini sudah ada jauh sebelum itu. Orang-orang yunani kuno telah menyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar lebih-lebih  Aristoteles  2.
      Rasionalisme adalah paham filsafat  yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan3. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mangajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika 4.
    Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai untuk semua pengetahuan ilmiah 5.
     Kalau dalam empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra.  Akal tidak berfungsi banyak, kalau ada, itu pun sebatas idea yang kabur. Lain halnya dengan rasionalisme, bahwasannya rasionalisme berpendirian sumber pengetahuan terletak pada akal. Betul, hal ini akal berhajat pada bantuan panca indera untuk memperoleh data dari alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainnya, sehingga terdapatlah apa yang dinamakan pengetahuan 6. Dalam penyusunan ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkrit, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui 7.
      Maka dari itu Aliran ini merupakan bantahan kuat atas aliran empirisme, yang menekankan pencerahan indrawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pada hakikatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri tidak dapat memberikan kepada kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar secara universal. Pengetahuan yang paling tinggi terdiri atas pertimbangan-pertimbangan yang benar, yang bersifat konsisten satu dengan lainnya. Rasa (sense) dan pengalaman yang kita peroleh dari indera penglihatan, pendengaran, suara, sentuhan, rasa dan bau hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan. Rasa tadi harus disusun oleh akal sehingga menjadi sistem, sebelum menjadi pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pengetahuan hanya terdapat dalam konsep, prinsip dan hukum, dan tidak dalam rasa 8.
Dalam bentuknya yang kurang ekstrim, rasionalisme berpendirian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mengetahui dengan pasti tentang beberapa hal yang mengenai alam. Sebagai contoh; jika A lebih besar daripada B, dan B lebih besar dari pada C, maka A lebih besar dari pada C. Kita mengetahui bahwa hal itu adalah benar tanpa melihat kepada contoh-contoh yang konkrit. Kita mengetahui bahwa kaidah tersebut dapat dipakai untuk peta-peta, kota-kota, bangsa-bangsa, walaupun kita tidak mengalaminya atau mencobanya. Diantara kebenaran-kebenaran yang pasti (necessary truth), yakni kebenaran yang tidak bersandar pada pengamatan, baik untuk mengetahuinya atau untuk mengkaji kebenarannya adalah ; 5+5=10. tiga sudut dalam segitiga adalah sama besarnya dengan dua sudut lurus 9.
Plato memberikan gambaran klasik dari rasionalisme. Dalam sebuah dialog yang disebut Meno, dia berdalil, bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Tetapi, jika dia belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenalinya? Plato menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apakah sesuatu pernyataan itu benar kecuali kalau dia sebelumnya sudah tahu bahwa itu benar. Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak mempelajari apapun; ia hanya “teringat apa yang dia ketahui”. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam pikiran 10.

2.    Pembagian Rasionalisme
     Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan dari otoritas; dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme 11.
Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika 12.
Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal. Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (socrates, plato, aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu 13. 

3. Tokoh – Tokoh Rasionalisme
       Tokoh – tokoh dalam rasionalisme ada 6 orang menurut sebuah sumber, namun dalam makalah ini tidak dibahas seluruhnya secara rinci.
1.    Rene Descartes (1596 -1650)
2.    Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3.    B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4.    G.W.Leibniz (1946-1716)
5.    Christian Wolff (1679 -1754)
6.    Blaise Pascal (1623 -1662 M) 14
1.    Rene Descartes (1596-1650)
      Descartes lebih diperhatikan karena ada keistimewaan padanya; yaitu keberaniannya melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof abad pertengahan. Descartes dianggap sebagai bapak Filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir abad pertengahan itu yang menyusun argumentasi yang kuat, yang Distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya15.
     Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam itu, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat tokoh gereja. Apakah ada filosof yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman abad pertengahan itu? Ada, Tokoh itu adalah Decartes.
     Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban itu. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semangat filsafat yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali rasionalisme yunani 15.
     Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan ghaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata,”aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi keluar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi.” Tidak ada batas yang tegas antara mimpi (sedang mimpi ) dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita katakan sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud oleh Descartes 16.
     Benda-benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada pertanyaan: yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-sungguh asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh halus itu, bila dilihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu sungguh-sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kuta melihat dan mengalami benda-benda itu; dalam mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi: adakah benda yang tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode cogito.
      Pada langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat diindera. Apa sekarang yang dapat dipercaya, yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada sesuatu yang muncul, baik dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu muncul itu ialah gerak, jumlah, dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada 17.
     Betulkah yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Descartes mengujinya. Kemudian ia pun meragukanya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah menjumlah (angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti dari pada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti diragukan. Kalu begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct.
      Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode  cogito. Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya, atau  hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang ragu” benar-benar tidak dapat diragukan adanya 18.
        Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Sekarang Descartes telah menemukan basic dari filsafatnya, namun bukan filsafat Plato, bukan filsafat abad pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi itu ialah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Di sini kelihatanlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes 19. Sifat-sifat inilah yang nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada abad modern.

2.    Spinoza (1632-1677)
      Metafisika modern biasanya dikatakan dimulai oleh Descartes (1596-1650). Metodenya untuk sampai kepada kepastian sempurna lewat deduksi metematis, sah untuk diterima. Akan tetapi, halnya tidak sesederhana itu. Metafisika mempunyai jalur yang panjang sejak yunani, melintasi abad pertengahan, barulah kepada Descartes. Oleh karena itu, kita tidak usah heran menemukan bahwa konsep sentral dalam metafisika Descartes adalah substansi dan definisi, yang sesungguhnya sudah ada pada Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles, ia pun berpendapat bahwa sesuatu untuk ada tidak memerlukan yang lain (bila adanya karena yang lain, berarti substansinya kurang meyakinkan) 20.

3.    Leibniz (1646-1716)
     Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan. Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah “prinsip akal yang mencukupi”, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyain alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat bahwa prinsip ini menuntun filsafat Leibniz.
      Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Maka karya Leibniz tentang ini diberi judul monadology(studi tentang monad) yang ditulisnya 1714 21.

Kesimpulan
      Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan  diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Beberapa tokoh rasionalisme dan perbedaan pendapat mereka yang diangkat dalam dalam karya ini adalah : Rene Descartes, Leibniz dan Spinoza.


DAFTAR PUSTAKA
http://intl.feedfury.com/content/16333544-filsafat-rasionalisme.html diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB 
http://kuwatpamuji.blogspot.com/2009/01/rasionalisme.html diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB 
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/rasionalisme/ diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB
http://www.scribd.com/doc/57206285/penerapan-teologi-rasional-dalam-belajar-dan-mengembangkan-ilmu diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB

FOOTNOTE  :
(1)    http://intl.feedfury.com/content/16333544-filsafat-rasionalisme.html diakses pada tanggal 22 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB
(2)    Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 25
(3)    Ibid, hal. 127
(4)    Ibid
(5)    Drs. Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005) hal. 66
(6)    Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama, Jakarta, logos wacana ilmu, cet. II, 1999, hal. 45
(7)    Ibid
(8)    Djaelani, Abdul Qodir, Sekitar Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Media Da’wah, 1994) hal. 13-14
(9)    Ibid, hal. 14
(10)    Suriasumantri, Jujun S., Ilmu Dalam Prespektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) hal. 99
(11)    Ibid, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, hal. 127
(12)    Ibid
(13)    Ibid, hal. 128
(14)    http://intl.feedfury.com/content/16333544-filsafat-rasionalisme.html diakses pada tanggal 22 Oktober 2011 pukul 20.30 WIB
(15)    Ibid, hal. 130
(16)    Ibid, hal. 131
(17)    Ibid, hal. 132
(18)    Ibid, hal. 133
(19)    Ibid, hal. 134
(20)    Dr. Ismail Asy-Syarafa, ensiklopedia filsafat, jakarta: Khalifa, cet. I, 2005, hal. 167
(21)    Ibid, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, hal. 139

No comments:

Post a Comment