Wednesday, 2 May 2012



A. Pendahuluan
Immanuel Kant, seorang filosof dari Jerman yang sangat popular dengan filsafatnya yang ia sebut sebagai Filsafat Kritisisme. Disebut kritisisme karena didalamnya, terdapat upaya kritik atas filsafat rasionalisme dan empirisme. 
Seorang pengkritik tidak mungkin dapat mengkritik dengan baik dan mendalam, jika tanpa ada pengetahuan yang mendalam mengenai apa yang dikritiknya. Demikian pula Immanuel Kant, dalam proses penemuan terhadap filsafat kritisisme ini, Kant telah melalui tahapan-tahapan pemahaman, bahkan sampai pada meyakini kebenaran dari filsafat rasionalisme maupun empirisme. 
Dalam pembahasan berikutnya akan dijabarkan tahapan-tahapan filsafat Immanuel Kant. Sampai akhirnya secara radikal, Kant menyampaikan filsafat kritisisme ini. Setelah mendeskripsikan data terkait, selanjutnya penulis akan   menghubungkan dan mendialogkannya dengan gagasan yang lain dan akhirnya membuat interpretasi sebagai refleksi penulis sendiri.
Untuk membatasi masalah, berikut adalah rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini: 1. Biografi Immanuel Kant; 2. Tahap-tahap Perkembangan Pemikiran Immanuel Kant; 3. Pembahasaan Filsafat Kritisisme;  

B. Biografi Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, Prusia Timur, Jerman. Berasal dari keluarga kekurangan. Orang tua Kant adalah penganut setia gerakan Peitisme.  Pada tahun 1755, Kant memperoleh gelar Doktor dengan Disertasi berjudul: “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api,”sebuah karya di bidang ilmu alam. Orang-orang menyukai Kant karena dia menjunjung tinggi Moral, sangat santun, sering kali akrab berdialog dengan orang-orang pada saat jalan-jalan sore di Koninsberg. Faktanya, Kant tidak terlalu menonjolkan keilmuannya atau dengan kata lain Kant itu orang yang Rendah diri. 

C. Tahap-tahap Perkembangan Pemikiran Immanuel Kant
Perkembangan pemikiran Kant mengalami empat tahap. Tahap pertama ialah ketika Kant masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolff, yaitu sampai tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik. Tahap kedua berlangsung antara tahun 1760-1770. Periode ini disebut periode empiristik, karena pada periode ini Kant sangat dipengaruhi oleh David Hume. Tahap ketiga, mulai tahun 1770, dikenal sebagai “tahap kritis.” Tahap keempat berlangsung antara tahun 1790-1804. Pada periodesasi ini Kant mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. 
Dari keempat tahap perkembangan pemikiran Kant diatas, dapat diketahui bahwa sebelum Kant melakukan kritik atas rasionalisme dan empirisme, ternyata Kant sendiri pernah berada dalam tahap dipengaruhi rasionalisme dan juga empirisme. Namun kelihatannya, kegiatan berpikir secara radikal dan menyeluruh sudah menjadi bagian dari kehidupan Kant. Pemikiran Kant senantiasa hidup untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang diyakininya. Saat Kant berada dalam pengaruh Leibniz-Wolff di tahap pertama, Kant tidak lantas fanatik buta dan tidak mau menerima pembaruan dan perubahan dari luar. Begitu pula pada tahap selanjutnya, selama 10 tahun Kant berada dalam pengaruh Hume mengenai filsafat empirisme, namun Kant masih terus melanjutkan pemikirannya sampai pada tahap yang diyakininya. 
Kant mengatakan: “Akal tidak boleh bertindak seperti seorang mahasiswa yang hanya puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.”  
Selain menurut Muslih diatas, terdapat pendapat lain dari Juhaya S. Praja yang menyatakan bahwa perkembangan pemikiran Kant mengalami dua tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis.  Meski berbeda jumlah tahapan perkembangan pemikiran Kant, namun antara Muslih dan Juhaya tidak terdapat pertentangan secara substantif, bahkan keduanya saling menjelaskan.
  
D. Pembahasan Filsafat Kritisisme 
Amin Abdullah menyatakan bahwa filsafat kritis Immanuel Kant adalah karya monumental yang berusaha memadukan pandangan terbaik dari pihak rasional dan empiris, meskipun Kant sendiri tidak menyetujui dua-duanya secara total.  
Sebelum membahas filsafat kritisisme ini lebih jauh, sebaiknya terlebih dahulu digambarkan perbedaan mendasar antara rasionalisme dan empirisme, yaitu sebagai berikut:
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai upaya raksasa dalam mendamaikan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur a priori dalam menemukan pengetahuan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari pengalaman (ide bawaan ala Deskrates). Sedangkan empirisme menekankan unsur aposteriori, berarti unsur yang berasal dari pengalaman (as a white paper). Menurut Kant, baik rasionalisasi maupun empirisme adalah berat sebelah.  
Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari idea yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum  sebagai suatu pernyataan yang pasti. 
Sedangkan teori empiris yang sangat menitikberatkan pada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan, dimana hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. 
Dari kritik atas kedua teori diatas, kemudian Kant bermaksud untuk mengkombinasi antara rasionalis dan empiris dalam proses pengenalan pengetahuan. Menurut Kant, pengetahuan itu harus bersifat mutlak, yakni umum dan niscaya, pasti, sehingga mempunyai nilai ilmiah. Ia dapat diverifikasi atau difalsifikasi lepas dari pengalaman aktual. Oleh karena itu, Kant menerima adanya keputusan sintesis a priori, yang didalamnya terdapat pengalaman, moralitas, ilmu, dan metafisika, sebagai prinsip-prinsipnya.  
Berikut adalah skema proses terjadinya pengetahuan menurut Immanuel Kant:

Langkah Kant dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir kritik atas daya pertimbangan.

a. Kritik der Reinen Vernunft Reason, Critique of Pure Reason (Kritik atas Rasio Murni). 
Pada taraf indra, ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori yaitu ruang dan waktu. Pada taraf akal budi, Kant membedakan akal budi dengan rasio. Tugas akal budi ialah memikirkan suatu hal atau data-data yang ditangkap oleh indrawi. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesis antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan bentuk adalah a priori, bentuk a priori ini dinamakan Kant sebagai kategori.
Pada taraf rasio, kant menyatakan bahwa tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide, yaitu Allah, jiwa dan dunia. Apa yang dimaksud ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam gejala psikis (jiwa), gejala jasmani (dunia) dan gejala yang ada (Allah).
Akal murni adalah akal yang bekerja secara logis. Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indra.
Menurut Kant, jiwa kita merupakan organ yang aktif, dimaksudkan sebagai jiwa yang inheren, secara aktif mengkoordinasi sensasi-sensasi yang masuk dengan idea-idea kita. Karena koordinasi itulah maka pengalaman yang masuk, yang tadinya kacau, menjadi tersusun teratur.
Sensasi ialah pengindraan, sensasi itu hanyalah suatu keadaan jiwa menanggapi rangsangan (stimulus). Sensasi itu masuk melalui alat indra, melalui indra itu lalu masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan, kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu, saluran itu adalah hukum-hukum. Karena hukum-hukum itulah maka tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan itu diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Contohnya, Jam berdetak, Anda tidak mendengarnya, akan tetapi, detak yang sama bahkan lebih rendah, akan didengar bila kita bertujuan ingin mendengarkannya.
Kemudian Jiwa (mind) yang memberi arti terhadap stimulus itu mengadakan seleksi dengan menggunakan dua cara yang amat sederhana, Menurut Kant, Pesan-pesan (dari stimulus) disusun sesuai dengan ruang (tempat) datangnya sensasi, dan waktu terjadinya itu. Mind itulah yang mengerjakan sesuatu itu, yang menempatkan sensasi dalam ruang dan waktu, mensifatinya dengan ini atau itu. Ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang dipahami, ruang dan waktu itu adalah alat persepsi. Oleh karena itu ruang dan waktu itu a priori.
Kant kemudian memberikan penjelasan lagi, Dunia mempunyai susunan seperti yang kita pahami bukanlah oleh dirinya sendiri, melainkan oleh pikiran kita. Mula-mula berupa klasifikasi sensasi, selanjutnya klasifikasi sains, seterusnya klasifikasi filsafat. Hukum-hukum itulah yang mengerjakan klasifikasi itu.
Selanjutnya Kant membatasi sains, kepastian dan keabsolutan dasar sains tetap terbatas, Objek yang tampak merupakan fenomenon (penampakan). Keutuhan objek yang kita tangkap dengan daya struktur mental yang inheren, melalui sensasi, terus ke persepsi lalu ke konsep idea, Contoh, Kita tidak tahu pasti dengan bulan, yang kita tahu hanya idea tentang bulan.
Sains tidak mengetahui noumenon (tidak tampaknya suatu) ia hanya tahu fenomenon saja. Dari sini jelas bahwa Kant mampu memisahkan fenomenon dengan noumenon .
Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan:
1) Apakah yang bisa kuketahui?
2) Apakah yang harus kulakukan?
3) Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:
1) Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi”(noumenon) saja.
2) Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
3) Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.

b.   The Critique of Practical Reason (Pembahasan tentang Akal Praktis)
Kehidupan memerlukan kebenaran, kebenaran tidak dapat seluruhnya diperoleh dengan indra dan akal, indra dan akal itu terbatas kemampuannya. Menurut Kant, dasar a priori itu ada pada sains, akan tetapi, indra (sains) itu terbatas, disinilah Critique of The Practical Reason berbicara, Kant bertanya: Bila akal dan indra tidak dapat diandalkan dalam mempelajari agama, apa selanjutnya? Jawabannya adalah akal atau indra dapat terus berkembang dan dikembangkan, namun setelah semua itu, moral merupakan ukuran kebenaran.
Moral adalah suara hati, perasaan, menentukan sesuatu itu benar atau salah. Moral itu Imperatif Kategori, perintah tanpa syarat yang ada dalam kesadaran kita. Kata hati itu memerintah, perintah itu ialah perintah untuk berbuat sesuai dengan keinginan tetapi dalam batas kewajaran. Hukum kewajaran bersifat universal. Ia merincikan moral sebagai berikut;
Menurut Kant, apa yang dianggap sebagai sikap moral sering kali merupakan sikap yang secara moral justru harus dinilai negatif. Heteronomi moral adalah sikap dimana orang memenuhi kewajibannya bukan karena ia insaf bahwa kewajiban itu pantas dipenuhi, melainkan karena tertekan, takut berdosa, dan sebagainya. Dalam tuntutan agama, moralitas heteronom berarti bahwa orang menaati peraturan tetapi tanpa melihat nilai dan maknanya. Heteronomi moral ini merendahkan pandangan terhadap seseorang, dan merupakan penyimpangan dari sikap moral yang sebenar-benarnya.
Sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonomi moral, otonomi moral berarti bahwa manusia menaati kewajibannya karena ia sadar diri, bukan karena terbebani, terkekang, tuntutan, dsb. Otonomi juga menuntut kerendahan hati untuk menerima bahwa kita menjadi bagian dari masyarakat dan bersedia untuk hidup sesuai dengan aturan-aturan masyarakat yang berdasarkan hukum. Hukum adalah tatanan normatif lahiriah masyarakat. 

c.   Critique of Judgement (kritik atas daya pertimbangan)
Kritik atas daya pertimbangan dimaksudkan oleh Kant untuk mengerti persesuaian antara kritik atas rasio murni dan kritik atas rasio praktis. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estesis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan adanya keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. 
Sampai disini penulis ingin mengemukakan bahwa dalam filsafat kritisisme Kant ini tidak bermaksud mencari mana yang lebih benar dari yang lainnya. Rasionalisme lebih benar dari empirisme kah, ataukah sebaliknya, empirisme lebih benar dari rasionalisme. Pemikiran monumental Kant ini hendak memadukan kedua pendapat yang awalnya bertolak belakang, menjadi sebuah paduan yang saling melengkapi. Pengetahuan adalah hasil dari perpaduan rasio yang hidup dengan dihadapkan kepada materi empirik. 
Atau dengan kata lain, kritisisme Kant sekaligus mengakhiri pendapat sebelumnya yang menganggap akal pikiran hanyalah berfungsi sebagai “container” (alat tempat menyimpan sesuatu dan bersifat pasif). Dalam kritisisme, pengetahuan adalah terkait dengan terjalinnya hubungan yang kokoh antara ide-ide (sebagai isi pokok daripada akal pikiran), dan dunia luar pada umumnya. Adalah akal pikiran yang dikatakan mempunyai ide-ide tertentu dalam dirinya sendiri yang dapat memaksa kita untuk menyatukan sifat-sifat dari dunia luar dalam satu kerangka keilmuan tertentu



Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Honer, Stanley M. dan Hunt, Thomas C.. “Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan” dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jujun S. Suriasumantri. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. 
http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/13/peta-pemikiran-immanuel-kant/ diakses tanggal 26 November 2011.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2006.
Poespoprodjo, W. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2005.

silakan KLIK di sini untuk mendapatkan materi lainnya... (tunggu 5 detik kemudian klik Lewati/Skip)

No comments:

Post a Comment